Senin, 29 Februari 2016

Pamit :')

"Kak, kok lu masih di sini aja sih? Nggak balik?"
"Betah amat lu, Lid di sini"
"Kak, ngapain masih di sini?"
"Wiih, betah amat di kampus kak!"
.
.
"Kok kalian semua pada ngusir sih?"
.
.

"Kak, Lid. Ini coba dengerin deh lagunya. Kak Lid bangeet."

(Youtube : "TULUS-Pamit")


Yah, emang bagus... :)
Mirisnya, aku adalah orang yang pamit untuk pergi terlebih dahulu.
Tapi aku juga yang terlalu erat menggenggam, sehingga takut untuk jatuh ketika kulepas.

Sudah.

Sudahlah, Lid.
Akan selalu ada pro dan kontra terhadap semua tingkah laku di dunia.
Kita hanya bisa memaksakan persepsi kita, sejauh kita mau menerima pandangan orang yang pendapatnya berbeda 180 derajat dengan kita.

Sudahlah, Lid.
Semakin dewasa, kita akan semakin tahu bahwa tidak ada hitam dan putih di dunia sekarang ini.
Dunia sudah dipandang abu-abu oleh banyak orang.
Suatu hal bisa jadi benar dan bisa jadi salah tergantung orang yang menyampaikan argumen.

Sudahlah, Lid.
Mereka tidak benar-benar butuh alasanmu atas keputusanmu itu.
Mereka hanya butuh dianggap paling benar. 
Mereka hanya butuh menduduki tingkat tertinggi dari tangga kehidupan sosial.
Bahkan mungkin mereka tidak benar-benar peduli padamu secara pribadi.


Sudahlah, Lid.
Sudah.
Lid.
Aku sedih.
Ketika seseorang, yang saking-(katanya)-teman-nya, kemudian lebih memilih : 
diam dan mencoba percaya (meskipun tetap tidak dapat menepis persepsi negatif terhadap temannya ini); 
dari pada bertanya terang-terangan dan mengklarifikasi apa yang menjadi tanya di benak selama ini.

Kamis, 25 Februari 2016

"Butuh sekali jatuh untuk kemudian berani melangkah.
Seenggaknya, kalo jatuh lagi, sakitnya nggak akan lebih parah."

Jalan-es

Dari dulu, gue kira ice skating adalah salah satu permainan yang tidak akan pernah gue coba.
Selain karena gue ngga pernah belajar dan ngga bisa main sepatu roda (yah, sepatu roda dan ice skate nggak jauh beda, kan?); belajar jatuh di usia segini membuat gue malu.

But, thanks to Sid yang mensponsori kegiatan main bareng kali ini. Akhirnya gue pernah punya pengalaman main ice skating.

Ada beberapa hal yang gue pelajari dalam permainan ini.
Pertama, belajar untuk tidak takut malu. Dengan sedikit rasa nekat, gue berusaha untuk latihan berjalan tanpa pegangan tiang penyangga.
Dalam 5 menit pertama mencoba, gue jatuh.
Yang gue pikirkan saat itu adalah, "gausah malu lah, Lid! nggak ada juga yang bakalan ngetawain. semuanya pada sibuk menjaga keseimbangan diri masing-masing -.-"


Kedua, belajar untuk sabarSetelah pemikiran (sok) tegar diatas, akhirnya gue diajarkan untuk sabar dalam memahami pemainan ini. Gue kemudian berpikir, "jatuh adalah hal yang wajar dalam permainan ini! kalo nggak belajar jatuh, gimana gue mau belajar bangkit? belajar menjaga keseimbangan? iye gak?" B)
Padahal sih, pemikiran sok tegar itu muncul karena.... gue bahkan tidak bisa bertahan lebih dari 5 menit untuk tidak jatuh! Kalo tidak salah itung sih, dalam sejam main, gue bisa jatuh sampe 20 kali. 

Kemudian, setelah capek berjalan-patah-patah-ngalor-ngidul-sambil-jatuh-berdiri-sekian-puluh-kali, gue memberanikan diri untuk menghampiri seorang anak kecil yang dari awal ngiter-ngiter dengan santainya.
Dengan SKSD-nya, gue menyapa dan menahan malu buat minta diajarin cara jalan yang baik dan benar. Thanks to Valya, gadis berusia 9 tahun, yang baru belajar 10 kali tapi udah langsung jago banget, dan pada latihan pertamanya, dia cuman jatuh 1 kali doang!

Setelah diajarin sama dia, intensitas jatuh gue berkurang hingga 70% (data ini didapat dari hasil perkiraan semata haha :p). Sambil belajar jalan, kami mengobrol panjang lebar, dan jadinya berasa kayak udah kenal lama banget.

Yang gue senangi dari berbincang-bincang dengan orang baru adalah, kita tidak pernah tau apa yang akan kita pelajari saat itu.
Dari Valya, gue belajar bahwa tidak semua orang perlu di-suudzon-in. Valya adalah anak yang punya mimpi besar dan (sebenarnya) sangat ramah, tapi sayangnya dia anak yang pemalu jika disuruh menyapa teman-temannya.


Disini, dapat dilihat pentingnya pola asuh orang tua untuk perkembangan anak usia dini; yang tidak akan gue bahas (karena akan menghabiskan 1 buku psikologi perkembangan).



Setidak-tidaknya, dari permainan ini, gue dapet bekal kenalan baru, keberanian baru, dan pegal-pegal baru. :)

Kamis, 18 Februari 2016

"Ilmu tanpa agama adalah buta, dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh"
- Albert Einstein -

Perkara meninggalkan dan ditinggalkan

"Aku merasa menjadi pihak yang selalu ditinggalkan! 
Jadi boleh dong, sebelum aku ditinggalin beneran, aku membatasi rasa sayangku sehingga nantinya perpisahan tidak terasa menyakitkan!"


Pertemuan datangnya sepaket dengan perpisahan.
Tidak tahukah kamu, bahwa ditinggalkan bukanlah satu-satunya yang menyedihkan.
Namun juga meninggalkan.

Kalau boleh, aku ingin menetap di sini.
Menghidupi kehidupan yang sama nyamannya, 
yang sama jelasnya, yang tetap dengan orang-orang ini.

Bagiku, jalan ke depan adalah gelap.
Bukan hanya kau yang takut berjalan sendirian.
Bagiku, aku sama takutnya untuk berjalan sendirian, di tempat yang aku tak tahu.
Bagiku, sama cemasnya denganmu...


Aku tak hanya sedih karena pergi sendirian.
Tapi juga sedih karena menyakiti mereka yang terlanjur sayang.
Sedih karena tidak bisa mengiyakan semua pinta mereka untuk tetap tinggal.
Susah untuk menyampaikan alasan kenapa harus pergi, dan menjadi orang yang tak seasik dulu.
Lelah meyakinkan mereka bahwa aku tak bisa menjadi egois, dan mengabaikan yang lain.


Jika boleh, aku juga ingin menetap barang sebulan dua bulan.
Membenahi hati dan tugas-tugas yang masih bisa dibereskan.
Jika boleh, aku sangat ingin...

Rabu, 17 Februari 2016

"Apakah kamu bersedia mati bagi-Nya?"

Aku tidak takut mati.
Karena aku tahu aku akan kemana setelah mati.

Aku yakin, Dia sudah menyediakan tempat bagiku,
di Tahta Kerajaan Sorga-Nya.

Aku diciptakan untuk mengemban suatu tugas,
yang sudah ditetapkan oleh-Nya.

Ketika Dia memanggilku, berarti tugasku sudah selesai dengan baik.
Dan aku sudah naik ke level selanjutnya.


Tapi bila sesuatu terjadi, dan akhirnya aku masih diberi kesempatan hidup,
berarti Dia ingin untuk hidupku dipakai lebih lagi untuk pekerjaan tangan-Nya.

Selasa, 16 Februari 2016

sepaket kado

Mengucap selamat tinggal adalah hal yang tidak mudah.
Sampai sekarang, aku belum lulus menghadapi ujian ini.

Mungkin aku tidak akan mengucap selamat tinggal.
Pergi dengan membawa harapan bahwa suatu saat akan bertemu kembali.

Semoga dengan berserah,
aku, kami, benar-benar dapat dipertemukan kembali nantinya.

Aku tahu ini egois.
Tapi semoga cara ini membuatku bisa menerima dengan lebih lapang.
Sambil menyadari bahwa waktu akan lagi-lagi menyembuhkan sakitnya.







ps : terimakasih untuk kado terindahnya.
Doa tulus yang akhirnya dijawab secara bersamaan. 
0:)

kematian

Pembicaraan mengenai kematian adalah pembicaraan yang melelahkan.
Bagaimana agar tidak mati.
Bagaimana agar matinya menjadi suatu yang tidak disesali.
Bagaimana agar mengubah pilihan.
Tapi tak bisa.


Kematian akan dihadapi.
Itu pilihan.
Akhirnya, kami hanya bisa menyerah.
Yasudah, terserah.

pilihan yang salah

"..."
"kalo misalnya kita salah milih, memorinya jadi sampah dong?"
"kok sampah sih, ya enggak dong. gimana manusia bisa maju kalo manusia itu sendiri gabisa memilih?"
"ya kalo salah milih?"
"kenapa takut banget salah sih?"
"ya pasti takutlaah. hidup kan beda sama cerita di novel. kalo misalnya keputusan yang kita ambil itu salah, dan malah nyakitin orang lain gimana?"
"ya kalo salah tinggal move on."
"..."
.
.
.

Banyak orang yang takut mengambil keputusan karena takut salah memilih.

Karena tak semua orang punya waktu yang sama untuk kembali membenahi apa yang dipilih.

Karena tak semua orang punya keberanian yang sama untuk mengaku salah.

Dan untuk bertanggung jawab atas apa yang ia pilih.

Dan tak semua orang punya kedewasaan yang sama untuk kemudian menghidupi pilihannya.




ps : percakapan di atas diambil dari cuplikan sebuah film pendek berjudul Arah Kisah Kita yang dibuat oleh Opera.

Jumat, 12 Februari 2016

pada waktunya

"Waktu Tuhan, bukan waktu kita
Jangan sesali keadaannya. 
Untuk semua ada waktu Tuhan.
Tetap setia mengandalkannya."
.
.
.


Kadang, mencurangi waktu demi memuaskan ego memang lebih mudah.
Membeli waktu tidak lagi sesusah dulu.

Namun kadang, ada konsekuensi tidak menyenangkan dari mencurangi waktu.
Maka aku lebih suka membiarkan waktu berjalan apa adanya.
Dan menjawab semua tanya.
Mepertegas semua seru.
Memperlambat semua koma.
Menghentikan semua titik.



1 bulan bisa apa?
apa aja bisa terjadi dalam 1 bulan.
dan biarkan waktu yang memberikan jawaban ;)

#OneFilmADay(OrMore)


Yang pertama kali terbayang di benak gue saat mendengar judul DEADPOOL adalah film dengan genre action yang penuh dengan kematian.

Ditambah embel-embel MARVEL, maka film DEADPOOL akan menjadi film dengan genre action yang penuh dengan kematian dan dikemas dengan keren.
Yak, filem-filem keluaran MARVEL pasti adalah filem yang tidak mengecewakan. :D

Beruntung gue mengikuti film ini dari detik pertama hingga detik terakhir.
Dan yap, MARVEL selalu memberi kejutan di setiap filemnya.
Bahkan dari credits awalnya aja udah keren dan bikin ngakak.

Film ini sangat menarik karena kisah yang sebenarnya mainstream, dibuat dengan alur maju mundur yang sebenarnya biasa, namun dikemas dengan ciamik.
Yang saya senangi dari film ini adalah detil-detil kecil yang secara konsisten diperhatikan, sehingga tidak ada cacat yang terlihat mengganggu dari film ini.

Secara keseluruhan, film ini mengajak pikiran kita maju mundur dan muter-muter. Terus gaberani bengong, gara-gara takut kelewatan momen sedetik pun.
Satu lagi, film ini cukup unik karena (seinget gue) gue baru pertama kali nonton film yang naratornya adalah tokoh utama, dan dia bernarasi disepanjang filem dengan sangat asik, sehingga penonton merasa dilibatkan sebagai lawan bicara.


Gue bukan orang yang ngebet banget harus selalu nonton filem baru di bioskop,
tapi kalo ada yang ngajakin nonton film sebagus ini, gue gaakan nolak! :D (y)



#OneFilmADay(OrMore)

Rabu, 10 Februari 2016

...
karena kadang yang memilih pergi,
punya jalannya sendiri untuk tak kembali.

pilunya kepergian

Aku melihat betapa pilunya penyesalan dimatanya,
ketika menyadari bahwa adiknya pergi, 
tanpa kembali menerima kasih Tuhan.

Aku tak mau merasakan pilu yang sama, 
ketika teman-temanku kemudian pergi,
tanpa lebih dulu mengenal kasih Tuhan.

Minggu, 07 Februari 2016

Persepsi

Manusia berpegang pada persepsi.

Seringkali, manusia hanya melihat apa yang ingin mereka lihat,
dan mengabaikan hal-hal lain yang tidak penting menurut mereka.

Tak jarang, manusia juga hanya mendengar apa yang ingin mereka dengar,
dan melupakan alasan atau pernyataan lain yang susah payah dijelaskan.

Manusia juga kadang membuat dirinya sakit,
dengan memikirkan apa yang hanya ingin mereka pikirkan.
Berharap pada sesuatu yang belum pasti akan terjadi.

Hal itu mungkin menyakiti diri mereka sendiri,
dan juga orang lain.

Karena pada dasarnya, persepsi tiap orang tidaklah sama.

Sabtu, 06 Februari 2016

#OneFilmADay(OrMore)

Pengalaman bekerja di belakang layar membuat acara-menonton-film gue tak lagi sama.
Saat menonton film, gue sering me-notice hal-hal yang terlihat janggal, dan akhirnya mood menonton gue berganti menjadi kritikan terhadap proses pengambilan gambar yang terjadi. 

Terutama terhadap film-film garapan dalam negri yang menghabiskan banyak sekali biaya, namun hasilnya tak sebanding.
Gue sedikit kesal dengan mereka yang menggunakan artis papan atas, tapi ternyata membawakan alurnya dengan kurang pas.
Atau mereka yang bahkan menggunakan setting mancanegara, tapi bahkan tidak bisa mempertahankan konsistensi dalam menggambil gambar atau melupakan hal-hal detil yang gue rasa sangat mengganggu.

Sedih rasanya, kalau untuk mengemas drama ecek-ecek, diikuti dengan penggunaan biaya yang sebegitu besarnya.


Sedang gue dan teman-teman, bahkan tidak memiliki sponsor satupun yang akan membiayai pembuatan film yang kami rasa konsepnya akan lebih berbobot.
Heuu~


#OneFilmADay(OrMore)

... dalam sesi kesekian

“you ever wonder what your life would be like if you never met your wife?”

“ ... cause you’ll have bad times, but that’ll allways wake you up to the good stuff you weren’t paying attention to.”

“and you don't regret meeting your wife?”

“ why? Cause the pain i feel now? 
Oh i get regrets, Will. But i dont regret a single day i spent with her.”


...
Masih tetap mengagumi pola pikir Sean yang dalam, dan menyentil.
:)

#OneFilmADay(OrMore)

W : “but this girl is like, you know, beautiful. She’s different from the most of the girls i’ve been with.”

S : “so call her up, romeo”

W : “why? So i can realize she’s not that smart? That she’s fuckin’ boring? You know, i mean... this girl is like fuckin’ perfect right now. I dont wanna ruin that.”

S : “maybe you’re perfect right now. Maybe you don't wanna ruin that ...
You’re not perfect, sport. This girl you met, she isn’t perfect either. But the question is whether or not, you’re perfect for each other. That’s the whole deal. That’s what intimacy is all about.”
.
.
.

Beberapa hari yang lalu, gue menonton sebuah film berjudul Good Will Hunting yang diproduksi pada tahun 1997. 
FIlmnya dibuat dalam setting akademik yang bercerita mengenai seorang anak yang genius secara otodidak; namun memiliki masa lalu yang sedikit kelam.

Kali pertama menonton, gue langsung suka pake banget sama filmnya karena ada tokoh yang berperan sebagai seorang psikolog.
Gue tahu beliau menyalahi kode etik yang berlaku dalam praktiknya, namun ternyata proses yang dia lakukan cukup berhasil.
Gue jadi pengen seperti beliau yang dapat menentukan kapan harus melakukan apa dengan bijak.


Dan kadang gue jadi pengen seperti Will, yang akhirnya menyerah pada materi dan tuntutan sosial demi mengejar impiannya yang lain; impiannya yang lebih besar.


#OneFilmADay(OrMore)

Mencinta,

Aku mengapresiasi para pujangga, yang dapat dengan jujur bermain kata.
Semua kesatria gagah yang rela melemahkan diri.
Semua orang yang berani untuk mencintai dengan tulus.

Karena keputusan untuk mencintai adalah keputusan yang cukup berat.
.

Bagiku, mencinta adalah perkerjaan yang terberat.
Ketika kamu BERANI membagi hidupmu, dan tanggung jawabmu, dan hakmu, 
dan hidupmu pada orang lain; 

yang belum tentu akan memutuskan bersamamu seumur hidupnya.
.

Mencinta adalah sesuatu yang sakral dan serius.
Orang yang mampu mencinta dan dicinta oleh orang yang sama, 
berarti adalah dia yang sudah memiliki kedewasaan yang sebegitu hebatnya.

Mampu mengambil keputusan yang mungkin akan dia syukuri atau sesali sepanjang hidupnya.
.

Mencinta,
Bagaimana manusia meramu kognisi dan afeksi menjadi satu, dengan komposisi yang harus pas persis bagi keduanya.
Tak boleh lebih meski setitik, dan tak boleh kurang pun.
.

Mencinta yang dewasa, 
adalah tentang mereka yang berani membagi pikirannya, membagi rencananya dan ketakutannya, membagi waktunya, dan membagi hatinya.

Pada seseorang yang belum tentu akan memutuskan untuk tinggal seumur hidupnya.
Tinggal dan dikekang oleh segala ketidakpastian arah.
Berselimutkan gelap, dan bermandikan kekhawatiran. 
.
.
.

ps : Aku masih belum mengerti bagaimana mencinta yang sebenarnya,
tapi akan selalu ada kali pertama untuk mencoba.
dan waktuku sudah tiba.

jalan malam

Tengah malam adalah saat yang tepat untuk berdiam diri dan membaca atau berpikir.

Setelah hampir sekian lama tidak membuka laman jejaring sosial dengan benar, maka malam ini saya sempatkan untuk melihat-lihat apa yang sedang hangat di laman facebook saya.

Kemudian, saya menemukan laman yang menarik untuk dibaca.
Link pertama bercerita mengenai 33 hal yang khas dari kehidupan mahasiswa Psikologi.
Setelah membaca artikel tersebut, respon saya adalah, " ahhhh. akhirnya ada yang mengerti kenapa kami bertingkah laku seperti ituuu."

Singkat cerita, saya pernah berargumen dengan seorang teman (non-psikologi) yang mengatakan bahwa mahasiswa psikologi selalu merasa bahwa ilmu kami paling benar dan tidak mau disalahkan, serta tidak bisa tegas dalam memilih sesuatu. Padahal, saya hanya berusaha bersikap objektif dengan memberi berbagai pandangan yang mungkin untuk menjadi pilihan. 
Akhirnya, argumen diakhiri oleh lawan bicara saya dengan pernyataan, "iya deh, terserah lu...".


Selanjutnya link kedua bercerita mengenai manusia unik yang ekstrovert sekaligus introvert. Lagi-lagi, respon yang sama muncul setelah membaca artikel ini, "naaah ini niihh..."

Hang-out-bareng-teman sampai saat ini masih memiliki kedudukan yang setara dengan ngendon-di-kosan-sambil-internetan. Kedua hal tersebut bisa jadi sama menyenangkannya, sekaligus sama melelahkannya.