Ela tercenung. lagi-lagi hal yang sama mampir dalam pikirannya.
tentu saja lelehan air di pipinya tak bisa dicegat lagi.
memang akhir-akhir ini, dia sedang dihantui oleh kematian.
entah berita kematian yang lalu, ataupun bayangan kematian yang akan datang.
siapa yang tidak down dengan firasat-firasat buruk seperti itu?
suatu ketika, tanpa sadar bibirnya mengucap, "kalo aku yang jadi dia, mungkin aku akan senang. tugasku sudah selesai. udah lega dan bisa senyum seneng ke orang-orang."
tapi, hatinya menolak mati-matian.
di lain kesempatan, dia menangis hingga tak sanggup bersuara.
benaknya seakan gulungan film yang memutar wajah orang-orang yang dikasihinya lengkap dengan kabar duka mereka.
tangannya mengatup rapat, hatinya berdoa agar itu hanyalah angin lalu
namun, semesta berkata lain.
banyak kesempatan yang memperkuat firasat buruk tersebut.
semesta seakan mendidik Ela menjadi gadis mandiri.
menjadi gadis yang tak lagi mengandalkan orang lain dalam setiap tingkah lakunya.
sehingga ketika mereka pergi, Ela sudah siap.
Ela tahu itu.
dia tahu semesta sepertinya sedang berkata sesuatu.
Ela hanya tak mau tahu.
tidak sekarang.
tidak secepat ini.
lagi-lagi, diakhir lamunanya, sama seperti mengakhiri lamunan-lamunan lain,
tangannya terkepal kencang tak ingin menghapus air mata; mulutnya yang bisa mengatup, sedang hatinya berkata berkali-kali. "Tuhan, jangan sekarang. jangan secepat ini. aku tidak siap."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar