Kamis, 27 Desember 2018

Milly & Mamet ! Keluarga sederhana dengan lawakan ringan yang ngga garing !

Image result for poster milly & mamet the movie
sumber : google

Sudah banyak orang yang mengatakan bahwa film Milly & Mamet adalah film yang sangat bagus untuk ditonton. Tapi untukku pribadi, ada beberapa alasan yang membuat aku tak ingin melewatkan film ini.

Pertama, adalah karena film ini merupakan spin off dari dwilogi AADC, yang sangat booming pada zamannya dulu. Sehingga ingin juga rasanya kembali bernostalgia dengan tokoh-tokoh yang menemani masa kecilku.

Kedua, di film ini, Mira Lesmana mengandeng pasangan suami istri Ernest Prakasa dan Meira Anastasia. Mengingat Ngenest, CTS, dan Susah Sinyal mendapat respon yang luar biasa dari penonton, pastilah film Ernest yang ini juga akan tidak biasa, apalagi dikerjakan bareng sang istri. Jadi penasaran, bagaimana hasil dari suatu cerita yang digarap melalui dua sudut pandang sekaligus. Meski agak kecewa dengan sekuel AADC yang tayang 2016 lalu, sepertinya Milly & Mamet benar-benar akan membawa angin segar dengan nuansa yang berbeda dari dwilogi AADC, yang didukung dengan tag line-nya : “Ini bukan Cinta & Rangga”.

Ketiga, dengan mendompleng nama besar AADC, Milly & Mamet harusnya sudah memiliki pasarnya sendiri, tanpa perlu susah-susah melakukan promo. Namun, Ernest dan tim tetap menunjukkan kesungguhan mereka dengan membuat promo film Milly & Mamet yang tidak biasa. Hal ini juga perlu diacungi jempol.

-

Oke, masuk ke bagian alur cerita. Aku sangat terkesan dengan cara Ernest membawa alur cerita yang tidak mudah ditebak. At least, aku sih ngga ketebak ya untuk beberapa adegan yang terjadi. Beberapa poin yang aku soroti adalah :
  • Film ini sangat menonjolkan ciri khas komedinya yang ringan, tapi nggak garing. Bahkan beberapa komedi yang awalnya kupersepsi akan garing di trailernya, ternyata pun mengundang gelak tawa penonton setelah diberi konteks cerita yang lebih luas.
  • Film ini menggambarkan cerita keluarga yang sederhana, detil, dan tidak terkesan dibuat-buat. Saudaraku belum ada yang menikah, sehingga aku tidak bisa begitu relate dengan kehidupan pasca menikah. Tapi melihat interaksi yang dibawakan dengan sangat sederhana, konflik yang dimunculkan sangat nyata, membuatku bisa mendapat gambaran yang menyenangkan mengenai konflik keluarga. Rasa-rasanya, isu pasca menikah menjadi tidak begitu jauh lagi.
  • Menggunakan cues yang mendukung. Karena film ini masih ada hubungan sodara sama film AADC, sehingga dibutuhkan adanya kesamaan alur cerita yang terjadi untuk membangun continuity film. Hal ini dimunculkan dengan sangat cerdas oleh Ernest dengan menggunakan properti-properti yang sederhana. Punch line yang digunakan, topi-topi ber-tag line, sticker, juga konteks cerita keseluruhannya. Selain itu, aku merasa ada beberapa campaign yang ingin ditanamkan melalui cerita ini, tentang hidup sehat, hidup jujur, bagaimana mengikuti kata hati saat kita sedang bimbang, bagaimana kita saling back up pasangan saat dibutuhkan, dan kembali ke kekeluarga untuk berusaha menyelesaikan masalah yang terjadi. Value yang ditanamkan sangat luar biasa menurutku.
  • Ngiklan yang cukup smooth. Beberapa kali bisa didapati kemunculan brand-brand yang menjadi sponsor dari film ini. Tapi iklan tersebut dimunculkan dengan sangat menyenangkan dan dapat dikompromi. Tidak mengambil alih seluruh cerita, tidak membuat patah adegan yang terjadi, dan malah mengelitik menurutku. Jadi, yaa win-win solution lah buat kedua belah pihak.


Secara keseluruhan, film ini cocok ditonton untuk orang yang sedang butuh refreshing, mencari film yang ringan dan ngga pake mikir terlalu berat, tapi komedinya tetap dapet. Buat mereka yang ngga rela mengeluarkan uang demi menonton film Indonesia, ya gapapa juga sih. Tapi aku tak menyesal menonton film ini. Isu keluarganya dapat. Value yang mau ditanamkan tidak setengah-setengah dan disampaikan dengan cara yang cerdas. Menurutku film ini paket komplit. Aku kenyang mata, hati, dan otak setelah nonton. Semakin mengagumi Ernest dan Meira.


… dan semakin ingin mencoba bikin karya yang sama cerdasnya, yang bisa menggerakkan hati semua yang melihat. ;)


Kamis, 13 Desember 2018

Beberapa saat kebelakang, kepalanya penuh sama semua hal.
Beberapa saat kebelakang, semuanya minta diperhatikan.
Beberapa saat kebelakang, tenaganya terkuras habis.

Hampir kehabisan napas, saat kejar-kejaran sama tengat waktu.
Kehabisan tenaga, saat kejar-kejaran sama maunya orang.
Belum lagi kehabisan waktu, saat berusaha memenuhi jam tidur.

Kita emang nggabisa nyenengin semua orang.
Nggabisa tau apa maunya semua orang.
Kadang malah, semua hal bisa salah dimata semua orang.

Gimana mau mengerti, kalau tahu aja tidak.
Gimana mau tahu, kalau mendengar aja enggak.


Sampai satu titik, dikasih waktu untuk berdiam diri. Hening.
Cuman ingin duduk tenang tanpa melakukan apapun.
Coklat panas di kiri, di kanan seorang yang hangat.

Memeluk adalah salah satu cara yang paling baik untuk menunjukkan bahwa kita peduli.
Bahwa kita dipedulikan. Iya kan?
Bahkan, tepukan dipundak juga cukup untuk sekarang.
Kalau mengusir kusutnya otak nggabisa dilakukan.



Tapi, Tuhan tidak akan memberikan pencobaan lebih dari yang kita mampu hadapi, kan?
Sebentar lagi, Lid. Bertahan, yuk.
Jangan meledak sekarang. Nanti aja. 

Selasa, 16 Oktober 2018

His time,
just in time

Banyak hal yang terjadi tidak lebih cepat atau lebih lambat dari seharusnya, tapi tepat pada waktunya.

Bahkan ketika kita mengusahakannya lebih banyak, jalan itu tidak akan terbuka karena usaha kita.

Bahkan ketika kita mendoakannya lebih sering, pun jalan itu tidak semakin mudah karena doa kita.

Tuhan akan memberikan jawaban itu sesuai kesiapan kita menerimanya. Sesuai waktunya, dan sesuai waktu-Nya. 

Rabu, 03 Oktober 2018

#commuter lyfe

Nggak kerasa udah sebulan melakukan rutinitas yang berbeda. 
Menjalani rute yang berbeda.
Bertemu dengan orang-orang asing lebih sering.
Berkelompok dengan pasangan yang berbeda-beda.
Kembali memikirkan hal-hal yang tidak lagi dipikirkan sejak dua tahun silam.

Tidur lebih malam. 
Berdiri lebih lama.
Melangkah lebih jauh. 
Tegak pun lebih lama.
Pundak memikul beban lebih berat. 
Punggung harus sedia tegak juga lebih lama. 

Tepat 30 hari yang lalu.
Memulai dengan rasa takut dan khawatir.
Saat ini, rasa-rasanya semua bisa diatasi.

Kecuali badan yang semakin lemah.
Mata yang semakin kuyu.
Kepala yang semakin sering pusing.

Baru 30 hari.
Sedikit jenuh dengan rute tempuh yang harus dilalui siang malam.


Siang tadi, ditengah-tengah menahan punggung yang mulai sakit,
terdengar percakapan dua orang ibu.

Salah satunya adalah seorang guru, berseragam pramuka, dengan rambut diikat asal, dan dengan mata yang juga kurang tidur.
Ternyata, rute temputnya lebih jauh dariku.

Tangerang - Cikarang setiap hari.
Berangkat 4.15 setiap pagi, karena masuk sekolah jam 7 pagi.
Jam 3 baru sampai Manggarai.
Pulang sekolah harus langsung tidur, katanya. Baru punya tenaga untuk beberes setelah bangun.


Dalam hati, salut akan loyalitasnya.
Tapi, terbersit juga dibenak pertanyaan kenapa dia tidak berusaha untuk memperpendek jarak.



Tapi mungkin beliau punya alasan sendiri.
Alasan yang sama kenapa aku bertahan sampai saat ini.
Mengorbankan badan yang mungkin tidak lagi bertahan tegak.
Alasan yang sepertinya membuatku tampak bodoh, tapi juga alasan yang sepertinya setiap orang mau untuk pertahankan.
.
.
.
Bertahan ya badan.
Berdoa lebih kuat agar badan ini tidak kalah oleh rasa lelah.
Bantu doa gengs. 
Untuk siapapun yang ikut serta membaca curcol ngga penting di blog kali ini.
:D

Minggu, 30 September 2018

.
Pernah ngga kalian berada dalam suatu kondisi, dimana kalian tiba-tiba merasa gamang.
.
Seperti akhirnya nyemplung ke dalam suatu kolam yang ternyata lebih dalam dan membutakan daripada yang kalian pikirkan sebelumnya.
.
Lalu merasa takut. 
Tetapi keheningan yang mencekam terlalu lama akhirnya membuat rasa takut itu sirna. 
Yang sisa adalah rasa khawatir akan kekhawatiran itu sendiri.
.
Khawatir nantinya akan ada alasan lain yang mengkhawatirkan.
.
.
.

Sedang dalam sumur dan ingin merangkak naik.

Selasa, 25 September 2018

Tetapi apabila pernah dikatakan: 
"Pada hari ini, jika kamu mendengar suara-Nya, 
janganlah keraskan hatimu seperti dalam kegeraman"

- Ibrani 3 : 15 -

Minggu, 23 September 2018


"Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu,
dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran"

- Amsal 17 : 17 -

"Sorry"

Percakapan siang tadi.


Pernahkah kamu mengecewakan seseorang?


Pernah. Seorang Sahabat. 
At least, seseorang yang masuk dalam lingkaran pertemananku. 
Mengecewakannya bahkan saat dia sedang sangat membutuhkanku. 


Bagaimana rasanya? 

Sakit. Menyesal.

Apa yang terjadi?


Aku sibuk. 
Terlalu sibuk melakukan hal yang membuatku senang. 
Sehingga menjadi tidak ada waktu untuknya. 
Dia sangat sering menolerir ketidakhadiranku. 
Tapi bahkan dia masih mau menyakiti dirinya dengan berharap padaku, 
berharap aku punya sedikit waktu untuknya saat itu. Saat Ia sedang sangat butuh teman.


Lalu apa yang kamu lakukan?


Aku berusaha untuk menghampiri meski ditolak. 
Aku berusaha untuk hadir meski terlambat. 
Aku membayarnya dengan menerima saja 
ketika dia tidak lagi percaya padaku -- dan memilih menjauh karena kecewa.


Tapi,
Aku tak berhenti di situ. Aku berusaha memegang yang tersisa.
Berusaha menghargai waktu dan kehadiran seseorang.
Menghargai apa yang bisa kulakukan untuk orang lain.
Memberi waktu, tenaga, dan perhatianku untuk mereka yang masih tersisa dan hadir hingga kini.


Aku pernah kecewa, dan tidak lagi mau menjadi alasan orang lain merasakan sakitnya. :)


Aku juga pernah. Dan rasanya tidak enak.
Apa yang harus kulakukan?

Mengakulah padanya. Minta maaf.
Tapi lalu tetap berjalan, dan jangan diulang kembali.




ps : teruntuk seorang teman yang pernah kukecewakan.
Maaf karena tidak pernah mengakui kesalahanku ini.
Maaf karena pernah mengabai, dan lupa untuk kembali.
Lalu menjauh dan tenggelam dalam rasa bersalahku. 

You deserve a 'sorry'.


Jumat, 03 Agustus 2018

Keyakinan ini, semu kah?

Kadang, aku yakin.
Bahwa hidup ini adalah tentang datang dan pergi.

Tidak ada yang abadi--kecuali Sang Alpha dan Omega, tentunya.


Kadang, aku yakin.
Hidup ini tentang bagaimana kita sudah bersikap baik di bumi.
Memberi dampak sebanyak-banyaknya pada orang sekitar yang kita temui.
Memberi kesan yang baik dan akan terus dapat diingat.

Kadang, aku yakin.
Tidak ada yang bisa menemani kita seumur hidup di bumi ini.
Seringkali mereka datang hanya untuk mengajarkan satu dua hal.
Tapi tak jarang, justru kita yang dihadirkan agar mereka bisa belajar satu dua hal.

Kadang, aku yakin.
Tuhan memberi free will tidak seakan-akan agar kita tidak menjadi robot suruhannya saja.
Tapi juga agar kita sendiri punya pengenalan pribadi yang sifatnya personal pada-Nya.


-
Jadi, sekarang,
Apa yang Tuhan ingin aku lakukan?
Apa yang Tuhan ingin aku tinggalkan?

Kita manusia, tidak punya banyak waktu.
Kita manusia, punya keterbatasan tenaga.

Tapi, dengan segala keterbatasan ini, apakah kita mau tetap tunduk pada otoritasnya?
Atau kita malahan berpaling dan ingin merasakan sebebas mungkin, dan mencari arti kesenangan kita pribadi?

Mana yang kau pilih?

Jumat, 13 Juli 2018

"Be Good.
... For everyone is fighting a battle you know nothing about."
- found this one on my friend's highlights instastory -

.
.
.

It's a reminder to me.
When i think that i know about someone, but i dont.
When i think that i understand their story, but i dont.
When i always think that i'm the most struggling person, but i'm not.

Yeah, be good.
We know nothing about anyone except what we see or hear.


But sometimes,
(like Maya Angelou said)
We are only as blind as we want to be. 

Rabu, 11 Juli 2018

Kadang,
meski kita tahu,
akan lebih mudah hidup dalam kepura-puraan
dan harapan semu

Setidaknya,
dalam pikiran,
masih ada alasan untuk bertahan,
meski membodohi diri


tak apa kan menunda sedih?

.
.
.
people only hear what they want to hear
people only see what they want to see
but sometimes, they are not ready for what really is

Jumat, 11 Mei 2018

Kamu akan jadi orang hebat, Lid. 
Aku yakin.

Jadi, untuk masalah kayak gini doang, kamu harus bisa bersabar.
Karena orang hebat juga ngalamin yang kayak gini gini.

Selasa, 01 Mei 2018

Ketika otak berkata baik-baik saja,
tapi hati berkata lain.

Kemudian masuk gua.

Lalu ku harus apa?

Senin, 23 April 2018

God is good. :)

Puji Tuhan!

Hari ini kusedang kalut.
Berbahagia, tapi takut.
Excited, tapi juga gamang.

Intinya, hanya ingin bersyukur sama Tuhan.
Dia menunjukkan bahwa kuasaNya jauh lebih besar ketimbang kekuatan manusia seberapapun liciknya.

Dia mengingatkan, bahwa ketika kita berserah, semua akan ditambahkan kepada kita.

Aku masih takut.
Tapi kuakan belajar untuk berserah :)

Sabtu, 10 Februari 2018

Dilanku 1990

Memutuskan menonton karena termakan rasa penasaran. 
Kemudian memutuskan kecewa, karena termakan ekspektasi.

Tadaa~


Semua orang punya Dilannya masing2. Punya bayangannya akan Dilannya sendiri.

Bagiku, Dilanku adalah sesosok anak SMA, menggunakan seragam biru, yang tak rapi dimasukkan celana dengan warna senada. Dilan yang cungkring dan jangkung. Dilan dengan senyum setengah tiangnya. Senyum tengil contempt dengan rasa yang bikin gregetan. Yang lebih sering nyengir ketimbang senyum manis.
Dilanku adalah dia yang cuek, tapi baik sama semua orang. Dilan yang bandel, tapi tetap respect sama guru-gurunya. Dilan yang bukan idola sekolahnya, tapi tetap punya pengagum rahasia. Yah, semua orang punya Dilannya masing2. Punya bayangan akan bagaimana sosok Dilan dalam "hidup" mereka. Yang jelas, Dilanku sudah pergi entah kemana. Terakhir hanya sempat kulihat punggungnya di balik pagar rumah, tanpa sempat mengucap selamat tinggal. Dan tak pernah bertemu sejak 7 tahun lamanya. Dilan 2011.

---

Setiap orang juga punya rasanya masing2 setelah menonton film ini. Aftertastenya berbeda buat tiap pribadi, tergantung memori apa yang paling kuat ditarik kembali oleh penggalan pengalaman sederhana dalam film ini.
Aftertaste ku sedih. Entah kenapa, entah apa. Lagi2, seperti merasa depresi setelah merasakan manic. Tapi bukan karena filmnya sendiri. Karena memori yang terpanggil mungkin memori yang menyedihkan, memori yang sudah kadaluarsa dan tak bisa diulang.

---

Film ini menyenangkan memang. Menyadarkan bahwa pada tahun 1990, muda mudi bisa senang hanya karena disapa selamat pagi oleh orang yang belum dikenal. Muda mudi bisa cengengesan sendiri karena dapat TTS yang sudah terisi. Dan muda mudi bisa berbunga2 karena dapat telpon (hampir) tiap malam. Yang jelas sih ngga ada adegan rebutan "kamu duluan yang tutup telponnya".

Mungkin bagi para generasi X, mereka akan merasakan nostalgia saat menonton film ini. Bersyukur karena mereka masih familiar dengan cara pedekate yang sesederhana itu. Bersyukur karena saat itu, ngga semua cewe harus didekati bermodal mobil mentereng dan barang2 branded.

Mungkin bagi para millenials, mereka senyum2 hebring sendiri karena gemes sama cowo tengil kayak Dilan, yang jarang ditemui pada masa2 seperti ini. Lalu, mungkin habis ini, akan tiba masanya, kepuasan hubungan mereka menurun, dan mereka menuntut pasangan masing2 untuk jadi seromantis Dilan.

---

Oke, mari kita mulai review filmnya. Yang di atas tadi baru pemanasan 😜

Filmnya buatku mengajarkan bahwa kita bisa bilang sesuatu dengan jujur tanpa embel2 malu, negative thinking, atau modus, atau baper, atau apalah-itu-yang-sebenarnya-normal-tapi-jadi-aneh-karena-capnya-netizen.

Senang itu sesederhana dapat telpon dari dia.
Khawatir itu sesederhana gabisa nemuin dia pada saat jam istirahat.
Marah itu sesederhana ketika kita dikatain sama pacar sendiri.
Dan cemburu... Sesederhana melihat dia jalan sama orang lain.
Tapi mematahkan gengsi, sesederhana "aku minta maaf, aku sudah ingkar janji".
Dan memaafkan sesederhana kata "Iya".


Gue rasa, udah cukup dari segi storynya. Karena sejauh ini, cerita dalam filmnya memang persis sama dengan cerita dalam bukunya. Dan gue suka bukunya. Meski untuk beberapa part, ada hal-hal yang ngga sesuai sama apa yang kuingat. Atau setidaknya, aku mengingatnya tidak begitu. Tapi mungkin, karena perkara durasi, maka film ini harus di cut sana sini agar lebih padat. Tapi setidaknya, Fajar Bustomi dan Pidi Baiq berhasil membuat film ini sama rasanya dengan Dilan 1990.

Sekarang mari bahas film ini dari segi sinematografinya.

Ada hal-hal yang membuatku merasa asing dengan Bandung di tahun 1990. Meski agak sok bagiku menilai Bandung di tahun segitu, padahal menjadi anak Bandung (CORET) saja bisa dihitung 1 tangan.

Aku baru tau suasana di Bandung bisa se modern itu. Bandung disulap menjadi seperti Jakarta. Dengan gaya yang lebih maju, dan stylish. No offense, bukan maksudnya tahun 1990 tidak boleh gaya, tapi sepertinya beda aja gitu trend saat itu. Tapi bolehlah, bisa mengosongkan jalanan di Braga dan ITB sebegitu lempengnya, padahal sekarang Bandung teh sudah macetos banget. Super duper luar biasa juga karena bisa mengundang RK untuk hadir jadi cameo di film tersebut. *Keprok keprok*


Dari segi cast, menurutku terlepas dari acting mereka, Dilan dan Milea memang sudah memiliki chemistry yang cukup oke. Mereka bisa memainkan sepasang muda-mudi kasmaran yang tidak kurang dan tidak lebih. Mereka bisa membagikan keceriaan dan rasa bahagia ke penonton. Namun, emosi marah, sedih dan kaget adalah emosi-emosi yang sangat susah untuk ditampilkan. Sehingga kadang, rasanya ngawang dan jadi ngga nyampe ke gue. Jadinya ada yang patah dari cerita itu. 

Yhaa, intinya ceritanya sukses membuat gue cengengesan sendiri. Tapi memang gue kecewa akan ekspektasi gue sendiri.

Harusnya, film ini bisa jauh lebih bagus lagi... :)


                                                                                              #OneFilmADay(OrMore)

Kamis, 25 Januari 2018

Bergemuruh

Biasanya yang dadakan itu selalu jadi.
Berbekal ajakan, "Lid, nonton yuk!", lalu mengajak beberapa orang untuk menonton film di jam terakhir malam itu, lalu jadilah...



Responnya? 

Nobody told me kalo film ini adalah drama musikal. Kirain mah ya film drama kehidupan biasa. Makanya beberapa menit pertama amazed karena “drama kehidupan” kok ya detil amat sama music and dance nya. Terkesima sesaat sama detil transisi setiap scene yang continuity-nya dapet banget.


Dan suara castnya bikin meleleh!
Beberapa minggu ini ngikutin sebuah reality show ajang pencarian bakat di Indonesia, yang mana setiap juri selalu mengingatkan finalisnya bahwa mereka harus bernyanyi dari hati. Mereka harus menyampaikan rasa dengan tulus. Mereka harus menyanyikan lagu dengan penuh emosi. Awalnya ndak ngerti sih kenapa para juri sangat fokus ke hal itu. Toh menurut gue, mereka mah nyanyi udah bagus-bagus kok suaranya. (Ini beneran, bukan karena gue nggabisa nyanyi haha)  Lalu, setelah nonton film ini, baru deh gue ngerti apa maksudnya. HAHAHA

Ngga semua lagu awalnya gue ngerti apa arti liriknya. Tapi mah maksudnya tetep nyampe kok ke gue, karena dibawakan dengan penuh “rasa”. 

Salam zuper buat koreografer dance dan yang ngaransemen musiknya. Luar biasa. Mereka bener-bener mikirin the whole film sebagai sebuah kesatuan tim, bukan tim yang berdiri sendiri dan pengen nonjolin ke-khas-an timnya masing-masing. Ibarat kata teori nih, mereka pake teori Gestalt buat bikin film ini. Haha Mereka bisa menyatukan semua hal dalam hidup, menjadi sebuah dentuman melodi. Mulai dari ketukan palu, hentakan kaki, bahkan sampai gesekan kursi dan gelas. Perfecto!


“Lupakan kurungan, karena kami tahu cara membuat kuncinya.”


Gue yang awalnya mengira film ini mengenai drama kehidupan, merasa sedikit kecewa dengan alur ceritanya yang terlihat “sangat mudah”. Alur ceritanya seperti ada yang kurang lengkap, dan kurang detil di beberapa cerita yang sebenarnya menjadi inti rasa dari film ini. Entah karena memang mereka terlalu detil pada musik dan koreo, sehingga jadi kedodoran di bagian alur cerita; atau memang karena durasi, sehingga mereka terpaksa memotong beberapa scene (bahkan juga yang termasuk scene kunci dalam film ini).

Tapi, nggapapa. Menurut gue, hutang itu masih bisa dibayar dengan “rasa” yang disampaikan melalui lirik lagu dan gerakan tubuh para pemainnya.

Melalui film ini, gue belajar bahwa hidup kita adalah musik, jadi... dibawa asik ajeee~ haha Kagak deng. Gue jadi diingatkan kembali sihh bahwa mimpi-mimpi yang gue punya selama ini, harus mulai gue lihat kembali dan kembangkan. Gue harus bisa belajar menghidupi mimpi gue. Karena, kalo kata P.T. Barnum, 

“Satu-satunya yang membatasi seseorang hanyalah imajinasinya”.


Bahkan beberapa minggu setelah menonton filmnya, "emosi"nya masih terasa. Emosi yang gue rasakan dari scene pertama Hugh Jackman bernyanyi. Bahkan dari pementasan pertama, sang director berhasil mempermainkan emosi gue. Sesuatu yang terasa too much, too good to be true, kemudian hening dan hampa. Gamang. Kayak abis ngerasain manic, tapi lalu jadi depresi.


Saking sukanya sama film ini, gue liatin channel-channel youtube yang mengulas cerita-cerita tentang mereka. Gue salut karena mereka bahkan melakukan latihan sekitar 3 bulan sebelum mereka syuting. Memastikan bahwa setiap scenenya dan koreonya terpahami dengan baik. Bahkan emosi tersebut sudah muncul dari saat mereka latihan !!

Ah, gue kurang pintar berkata-kata. Bahkan setelah menulis sepanjang ini aja gue masih belum bisa menyampaikan maksud gue dengan baik. Intinya nonton sendiri ajadahh. 

Kalo kata Hugh Jackman dalam sebuah interview di kanal Youtube YAAAS TV, “ ... Please go and see THE GREATEST SHOWMAN and i think you will find it is uplifting, it will open your heart, it will make you smile, it will make you sing, but ultimately, it will make you celebrate humanity in your life. Please go and enjoy ;)”


                                                                                                    #OneFilmADay(OrMore)