Biasanya yang dadakan itu selalu jadi.
Berbekal ajakan, "Lid, nonton yuk!", lalu mengajak beberapa orang untuk menonton film di jam terakhir malam itu, lalu jadilah...
Responnya?
Nobody told me kalo film ini adalah drama musikal. Kirain
mah ya film drama kehidupan biasa. Makanya beberapa menit pertama amazed karena “drama
kehidupan” kok ya detil amat sama music and dance nya. Terkesima sesaat sama
detil transisi setiap scene yang continuity-nya dapet banget.
Dan suara castnya bikin meleleh!
Beberapa minggu ini
ngikutin sebuah reality show ajang pencarian bakat di Indonesia, yang mana
setiap juri selalu mengingatkan finalisnya bahwa mereka harus bernyanyi dari
hati. Mereka harus menyampaikan rasa dengan tulus. Mereka harus menyanyikan
lagu dengan penuh emosi. Awalnya ndak ngerti sih kenapa para juri sangat fokus
ke hal itu. Toh menurut gue, mereka mah nyanyi udah bagus-bagus kok suaranya.
(Ini beneran, bukan karena gue nggabisa nyanyi haha) Lalu, setelah nonton film ini, baru deh gue
ngerti apa maksudnya. HAHAHA
Ngga semua lagu awalnya gue ngerti apa arti liriknya. Tapi
mah maksudnya tetep nyampe kok ke gue, karena dibawakan dengan penuh
“rasa”.
Salam zuper buat koreografer dance dan yang ngaransemen
musiknya. Luar biasa. Mereka bener-bener mikirin the whole film sebagai sebuah
kesatuan tim, bukan tim yang berdiri sendiri dan pengen nonjolin ke-khas-an
timnya masing-masing. Ibarat kata teori nih, mereka pake teori Gestalt buat
bikin film ini. Haha Mereka bisa menyatukan semua hal dalam hidup, menjadi
sebuah dentuman melodi. Mulai dari ketukan palu, hentakan kaki, bahkan sampai
gesekan kursi dan gelas. Perfecto!
“Lupakan kurungan,
karena kami tahu cara membuat kuncinya.”
Gue yang awalnya mengira film ini mengenai drama
kehidupan, merasa sedikit kecewa dengan alur ceritanya yang terlihat “sangat
mudah”. Alur ceritanya seperti ada yang kurang lengkap, dan kurang detil di
beberapa cerita yang sebenarnya menjadi inti rasa dari film ini. Entah karena
memang mereka terlalu detil pada musik dan koreo, sehingga jadi kedodoran di
bagian alur cerita; atau memang karena durasi, sehingga mereka terpaksa
memotong beberapa scene (bahkan juga yang termasuk scene kunci dalam film ini).
Tapi, nggapapa. Menurut gue, hutang itu masih bisa dibayar
dengan “rasa” yang disampaikan melalui lirik lagu dan gerakan tubuh para
pemainnya.
Melalui film ini, gue belajar bahwa hidup kita adalah musik,
jadi... dibawa asik ajeee~ haha Kagak deng. Gue jadi diingatkan kembali sihh
bahwa mimpi-mimpi yang gue punya selama ini, harus mulai gue lihat kembali dan
kembangkan. Gue harus bisa belajar menghidupi mimpi gue. Karena, kalo kata P.T.
Barnum,
“Satu-satunya yang membatasi seseorang hanyalah imajinasinya”.
Bahkan beberapa minggu setelah menonton filmnya, "emosi"nya masih terasa. Emosi yang gue rasakan dari scene pertama Hugh Jackman bernyanyi. Bahkan dari pementasan pertama, sang director berhasil
mempermainkan emosi gue. Sesuatu yang terasa too much, too good to be true,
kemudian hening dan hampa. Gamang. Kayak abis ngerasain manic, tapi lalu jadi
depresi.
Saking sukanya sama film ini, gue liatin channel-channel youtube yang mengulas cerita-cerita tentang mereka. Gue salut karena mereka bahkan melakukan latihan sekitar 3 bulan sebelum mereka syuting. Memastikan bahwa setiap scenenya dan koreonya terpahami dengan baik. Bahkan emosi tersebut sudah muncul dari saat mereka latihan !!
Ah, gue kurang pintar berkata-kata. Bahkan setelah menulis sepanjang ini aja gue masih belum bisa menyampaikan maksud gue dengan baik. Intinya nonton sendiri ajadahh.
Kalo kata Hugh Jackman dalam sebuah interview di kanal
Youtube YAAAS TV, “ ... Please go and see THE GREATEST SHOWMAN and i think you
will find it is uplifting, it will open your heart, it will make you smile, it
will make you sing, but ultimately, it will make you celebrate humanity in your
life. Please go and enjoy ;)”
#OneFilmADay(OrMore)

Waw
BalasHapus