Aku.
Rindu.
Aku.
Bosan.
Aku.
Sedih.
Aku.
Takut.
Aku.
Cemas.
Aku.
Ya Aku.
Aku.
Manusia.
Selasa, 28 November 2017
Kamis, 23 November 2017
Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak
Gue bukan tipe orang yang anti nonton film buatan dalam negri.
Berbekal cerita temen gue tentang sinopsis film, dan ajakan dadakan oleh rekan kerja, jadilah kami pergi menonton film Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak sebelum filmnya turun karena nggak laku. :p
Sebelum menonton, yang bikin gue penasaran adalah bagaimana cara pengambilan gambar yang melibatkan kepada dan badan yang terpenggal. Gue rasa, Indonesia belum secanggih itu dalam memproduksi film. Tapi ternyata gue salah.
Salut sih sama industri perfilman Indonesia yang semakin lama semakin baik. Mereka bisa membuat film itu tampak nyata tanpa embel-embel efek komputer yang terlihat.
Dari segi cerita, menurut gue film ini sangat cerdas.
Yang gue lihat adalah penulis cerita yang ingin menunjukkan sarkasme cerdasnya atas keprihatinannya melihat keadaan Indonesia saat ini.
Ada beberapa poin yang gue tangkap dari film ini.
Pertama, filmnya diambil di setting bagian Timur Indonesia.
Menurut gue, selain ingin menunjukkan daya tarik Sumba, sang penulis ingin menunjukkan kemirisan budaya yang seperti tertinggal dan kurang diperhatikan.
Gue tidak bilang daerahnya kumuh, karena meski daerahnya sangat sederhana dan oranye, setiap sudut yang tersorot kamera bisa membuat kita rehat sejenak dari penatnya rutinitas perkotaan.
Kedua, Gue belum pernah melihat film dengan alur cerita yang cukup pendek, tapi disajikan dengan cukup tidak membosankan. Kalau tidak salah ingat, film ini hanya bercerita tentang 2 malamnya Marlina, yang lambat, tapi terkesan cepat.
Tempo film ini memang terbilang lambat, sampai-sampai temen gue aja sempet ketiduran beberapa detik ditengah film :p
Tapi bagi gue, transisi film (yang semakin menekankan pelannya peralihan film) juga memberi kita ruang dan waktu untuk mencerna cerita dan informasi yang disajikan.
Scene pertama dalam film menggambarkan seorang penjahat yang masuk ke dalam rumah Marlina dengan izin terlebih dahulu. Mengatakan bahwa temannya akan datang, dan meminta dibuatkan makan malam. Marlina dengan tidak berdaya, hanya bisa resah sambil pasrah dan mengikut apa maunya si penjahat.
Bagi gue, scene ini menggambarkan betapa "penjahat" zaman sekarang, adalah mereka-mereka yang punya kekuasaan, dan dengan manisnya izin bahwa akan meraup harta kita, tapi karena ketidak berdayaan kita, mereka kebal dengan hukum.
Marlina, dengan tujuan membela diri, akhirnya membunuh satu persatu penjahat tersebut, tapi menyisakan dua orang komplotan yang sedang tak ditempat. Bermaksud membuat laporan ke kantor polisi, dibawalah potongan kepala yang dipenggal dari salah satu penjahat tersebut. Tapi, dengan segala keterbatasan yang ada, Pak Polisi tak bisa melakukan banyak untuk membela Marlina.
Bagian ini menggambarkan bahwa betapa tidak terfasilitasinya teman-teman kita di pinggiran, dengan ketersediaan alat-alat kesehatan dan pemeriksaan yang memadai. Bahkan transportasi dari rumah ke kantor polisi aja hanya ada tiap sejam sekali, dan jalannya super duper lambat. Kayaknya masih cepetan gue kalo lari wkwk
Scene lain yang jadi sorotan gue adalah, ketika salah satu komplotan penjahat, menyandera teman Marlina, agar bisa mendapatkan kembali potongan kepala bosnya. Lalu, sempat-sempatnya dia berTERIMA KASIH kepada Marlina karena sudah mau mengembalikannya. Sungguh penjahat yang sangat sopan. Prok prok prok.
Menurut gue, fenomena ini menggambarkan betapa orang-orang yang sebenarnya jahat, tidak mau terlihat sebegitu jahatnya, dengan membuat excuse "pembelaan diri", seakan-akan hal tersebut bisa menghilangkan title penjahat dari diri mereka. Mereka playing victims seakan-akan menjadi korban dan Marlina lah penjahatnya. Aku geram sekali. Huuuh.
Miris memang nonton film ini.
Tapi memang lokasinya bagus, pengambilan gambarnya juga bagus, filmnya ritmik dan menurut gue tidak bisa sembarang orang juga yang menonton film ini lantas menjadi penikmatnya.
Ya bisa jadi sebenarnya sang penulis punya makna lain dalam pembuatan film ini, tapi itulah makna yang gue dapat. Dan gue suka sama film ini. :)
So, happy watching!
#OneFilmADay(OrMore)
Posesif !
Teringat waktu gue pertama kali dateng ke Gala Premiere sebuah film.
Waktu itu gue sedang ditengah workshop di daerah Jakarta Selatan, dan tawaran tiket terebut datang tiba-tiba.
Rasanya ?
Gue merasa asing. Berada di lingkungan yang belum gue kenal.
Tapi juga takjub, karena dari gerak gerik tubuh mereka aja gue bisa lihat bahwa mereka sama excitednya dengan gue, meski mungkin alasannya berbeda.
Senang mendengar antusiasme semua orang, baik yang hanya tergila-gila dengan pemerannya, maupun yang memang tertarik membahas dalam segi pengambilan gambarnya.
Lalu gue mengevaluasi diri,
Film yang patut ditonton, namun harus hati-hati dalam menyimpulkan pesan yang ingin disampaikan oleh film ini.
Waktu itu gue sedang ditengah workshop di daerah Jakarta Selatan, dan tawaran tiket terebut datang tiba-tiba.
Rasanya ?
Gue merasa asing. Berada di lingkungan yang belum gue kenal.
Tapi juga takjub, karena dari gerak gerik tubuh mereka aja gue bisa lihat bahwa mereka sama excitednya dengan gue, meski mungkin alasannya berbeda.
Senang mendengar antusiasme semua orang, baik yang hanya tergila-gila dengan pemerannya, maupun yang memang tertarik membahas dalam segi pengambilan gambarnya.
Oke, sekarang dari sisi konten filmnya.
Filmnya berjudul "POSESIF" yang dimainkan oleh Adipati Dolken dan Putri Marino, dan diproduksi oleh Palari Film.
![]() |
| source : dokumentasi pribadi |
Setelah menonton film ini, gue semacam mengalami disonansi kognitif.
Setting usia pemeran utama adalah usia anak SMA yang hampir lulus dan akan melanjutkan ke ke bangku kuliah.
Setting usia pemeran utama adalah usia anak SMA yang hampir lulus dan akan melanjutkan ke ke bangku kuliah.
Sebagai orang yang pernah melalui masa-masa itu, gue berusaha berempati dengan peran sang tokoh utama. Mencoba menjadi gue semasa SMA dulu.
Tapi ternyata, malah si tokoh utama yang lebih mendalami peran sebagai orang dengan seusia gue. Perasaan dulu gue waktu SMA ngga gitu-gitu amat deh waktu ada di usia mereka. Gue ngga punya pemikiran sejauh itu, ngga senekat mereka, dan juga belum merasakan konflik seperti yang mereka alami.
Lalu gue mengevaluasi diri,
Antara gue yang emang terlalu kudet dulunya...
Atau kids jaman now yang terlalu canggih dan terlalu cepat dewasa.
Ada beberapa scene yang kemudian membuat gue merasa gagal sebagai lulusan psikologi. Gue masih saja kaget dan kejebak sama scene-scene tersebut, yang padahal sudah dijelaskan di berpuluh-puluh SKS waktu kuliah, dan seharusnya gue sudah menyadari itu dari awal. Anak macam apa saya ini... -_-a
Intinya, gue seharusnya menangkap gejala adanya imitasi dan faktor pola asuh dalam hubungan anak dengan orang sekitarnya, baik itu teman maupun pacar.
Ada beberapa scene yang kemudian membuat gue merasa gagal sebagai lulusan psikologi. Gue masih saja kaget dan kejebak sama scene-scene tersebut, yang padahal sudah dijelaskan di berpuluh-puluh SKS waktu kuliah, dan seharusnya gue sudah menyadari itu dari awal. Anak macam apa saya ini... -_-a
Intinya, gue seharusnya menangkap gejala adanya imitasi dan faktor pola asuh dalam hubungan anak dengan orang sekitarnya, baik itu teman maupun pacar.
Orang tua si tokoh utama cenderung menggunakan kekesaran untuk menunjukkan bahwa dia menyayangi anaknya, lalu meminta maaf sebagai bentuk excuse. Lalu, si anak yang tidak pernah mendapat kasih sayang dengan "cara berbeda", merasa bahwa itulah satu-satunya cara mengungkapkan kasihnya, yang akhirnya ditiru dan digunakan kepada pacar (pertama)nya.
Menurut gue, salahnya sang pacar adalah menerima tanpa mengingatkan. Berpacaran seperti itu bukanlah pacaran yang sehat sih menurut gue. Yahh, gue mah sotoy-sotoyan aja, karena pengalaman gue juga masih seiprit-iprit. Haha
Tapi kece sih filmnya. Alurnya rapih, kualitas gambarnya setingkat lebih bagus dari kebanyakan film dalam negri. Story linenya ciamik. Salah satu film dalam negri yang cukup oke, yang bahkan belum tayang resmi tapi udah nyabet 10 nominasi di FFI.
Film yang patut ditonton, namun harus hati-hati dalam menyimpulkan pesan yang ingin disampaikan oleh film ini.
#OneFilmADay(OrMore)
Senin, 30 Oktober 2017
Kering
Kekeringan rohani adalah hal yang mungkin dirasakan oleh hampir semua orang, meski tak disadari.
Pun aku begitu.
Dimulut ku berkata ya, tapi tak kurasa di hatiku.
Dalam doa kukatakan ya, tapi tak kuimani di dalam hatiku.
Setelah menonton sebuah film berjudul I Am Not Ashamed, yang di direct sama Brian Baugh, aku terketuk.
Aku merasa sebagian diriku ada dalam diri Rachel Joy Scott.
Aku merasa beberapa kali kepalaku diisi dengan kedagingan yang membutakan.
Aku merasa menjadi Kristiani yang dikotomus. Berbeda di satu tempat, dan tempat lainnya.
Merasa semakin sering memberi excuse untuk hal-hal yang kurang tepat, hanya karena alasan pertemanan dan toleransi dan hak asasi manusia.
Padahal, hal yang salah adalah tetap salah, seberapapun cantiknya dia dikemas.
Bahagianya, aku merasa, kini aku seakan menemukan banyak Nate dari tempat berbeda dan cerita yang berbeda pula.
Aku merasa, semakin banyak aku menyadarkan Nate-Nate yang kukenal, justru mereka yang akhirnya menguatkanku dengan imanku. Mengingatkanku bahwa imanku akan selalu diuji dan akan selalu diperbaharui.
Sesuatu yang aku ingin lakukan sama seperti Rachel adalah, menggunakan tanganku, sebagai perpanjangan tangan-Nya, untuk merubah dunia, sekecil apapun yang aku bisa.
Setidaknya, aku tidak diam. Aku bergerak. Dan aku berdampak.
Hal lain, aku sangat ingin, suatu saat aku pergi, banyak yang terketuk dan tergugah ingin mengalami perjumpaan pribadi dengan-Nya. Sama seperti aku berusaha untuk mereka, mereka pun akan berusaha untuk diri mereka sendiri.
Pun aku begitu.
Dimulut ku berkata ya, tapi tak kurasa di hatiku.
Dalam doa kukatakan ya, tapi tak kuimani di dalam hatiku.
Setelah menonton sebuah film berjudul I Am Not Ashamed, yang di direct sama Brian Baugh, aku terketuk.
Aku merasa sebagian diriku ada dalam diri Rachel Joy Scott.
Aku merasa beberapa kali kepalaku diisi dengan kedagingan yang membutakan.
Aku merasa menjadi Kristiani yang dikotomus. Berbeda di satu tempat, dan tempat lainnya.
Merasa semakin sering memberi excuse untuk hal-hal yang kurang tepat, hanya karena alasan pertemanan dan toleransi dan hak asasi manusia.
Padahal, hal yang salah adalah tetap salah, seberapapun cantiknya dia dikemas.
Bahagianya, aku merasa, kini aku seakan menemukan banyak Nate dari tempat berbeda dan cerita yang berbeda pula.
Aku merasa, semakin banyak aku menyadarkan Nate-Nate yang kukenal, justru mereka yang akhirnya menguatkanku dengan imanku. Mengingatkanku bahwa imanku akan selalu diuji dan akan selalu diperbaharui.
Sesuatu yang aku ingin lakukan sama seperti Rachel adalah, menggunakan tanganku, sebagai perpanjangan tangan-Nya, untuk merubah dunia, sekecil apapun yang aku bisa.
Setidaknya, aku tidak diam. Aku bergerak. Dan aku berdampak.
Hal lain, aku sangat ingin, suatu saat aku pergi, banyak yang terketuk dan tergugah ingin mengalami perjumpaan pribadi dengan-Nya. Sama seperti aku berusaha untuk mereka, mereka pun akan berusaha untuk diri mereka sendiri.
"Melakukan sesuatu yang salah, itu jelas salah!
Tapi, tidak melakukan sesuatu yang benar, itu sama salahnya."
Minggu, 14 Mei 2017
Takut
"Apa yang akan terjadi kalau Pak Ahok dipenjara ya?".
Pernah dulu sekali terlintas dipikiran gue, kalau Pak Ahok dipenjara, kemudian semua orang dengan etnis Tionghua akan memutuskan untuk pergi dari Indonesia (karena merasa tidak aman), menjual usaha mereka dan membawa semua aset mereka, lalu hijrah ke luar negri (kemanapun itu dimana mereka merasa lebih dihargai).
Tapi akhirnya beberapa hal membuat gue merasa itu terlalu lebay. Jadi, gue menghapus kemungkinan tersebut.
Lalu sekarang, gue mendapati kemungkinan tersebut muncul lagi setelah melihat pertikaian di timeLine (iya, bacaan gue secetek itu).
Meski Line adalah bacaan yang terdengar cetek, tapi menurut gue, itu adalah dunia kecil Indonesia. Ngga bisa di generalisir sih, tapi dari situ aja gue bisa ngeliat pandangan temen-temen gue (atau temennya temen gue, atau temennya temennya temen gue) tentang lingkungan sekitar kami.
Kalo dengan orang-orang yang gue kenal aja sebegitu teganya, apalagi yang ngga kenal sama sekali yekan.
Terus di salah satu postingan, gue liat dia mencantumkan video, dimana ada beberapa orang berteriak-teriak ingin memerangi orang kafir dan mengusir orang Cina.
Meski alasannya tidak sama dengan ketakutan gue, tapi video tersebut bisa membuat kemungkinan perginya etnis Tionghua dari Indonesia menjadi lebih tinggi. Bahkan dengan alasan yang lebih buruk menurut gue.
Gue takut.
Setelah membaca beberapa opini dan googling sekilas tentang Mei 98, gue takut kalau kejadian tersebut terulang kembali. Dan mungkin, dampaknya bukan hanya kepada etnis Tionghua, namun kepada semua pemeluk agama lain yang "mereka" sebut kafir (which is gue dan keluarga gue termasuk di dalamnya).
Gue lebih takut, dengan yang akan terjadi kepada orang-orang di sekeliling gue, yang beragama sama dengan mereka yang ada di video.
Ketika ada dari kelompok mereka yang tidak mau memusuhi kami karena alasan kemanusiaan atau pertemanan, akankah mereka juga ikut-ikutan dimusuhi?
Atau akankah mereka melepaskan pertemanan dan rasa kemanusiaan ini karena adanya ancaman permusuhan dari kelompoknya?
Gue takut.
Mungkin rasa takut gue masih kecil karena gue baru melihat dunia kecil sekeliling gue. Gue tidak aware dengan dampak sosial ekonomi budaya nasionalis yang terjadi di negeri ini.
Mungkin ketika gue aware dengan itu semua, gue akan memilih pindah dan keluar dari Indonesia karena besarnya rasa takut gue.
Tapi yang jelas, gue takut.
Tulisan ini hanya opini yang nggabisa gue sebarluaskan kemana-mana. Dan ditujukan hanya untuk mengeluarkan uneg-uneg semata.
Sembari menulis ini, gue mengirimkan doa atas Indonesia, atas bangsa ini, atas rasa kemanusiaan dari setiap manusia yang ada. Namun, kehendak Tuhan yang jadi, toh? Jika Tuhan sudah berkehendak, maka jadilah.
Pernah dulu sekali terlintas dipikiran gue, kalau Pak Ahok dipenjara, kemudian semua orang dengan etnis Tionghua akan memutuskan untuk pergi dari Indonesia (karena merasa tidak aman), menjual usaha mereka dan membawa semua aset mereka, lalu hijrah ke luar negri (kemanapun itu dimana mereka merasa lebih dihargai).
Tapi akhirnya beberapa hal membuat gue merasa itu terlalu lebay. Jadi, gue menghapus kemungkinan tersebut.
Lalu sekarang, gue mendapati kemungkinan tersebut muncul lagi setelah melihat pertikaian di timeLine (iya, bacaan gue secetek itu).
Meski Line adalah bacaan yang terdengar cetek, tapi menurut gue, itu adalah dunia kecil Indonesia. Ngga bisa di generalisir sih, tapi dari situ aja gue bisa ngeliat pandangan temen-temen gue (atau temennya temen gue, atau temennya temennya temen gue) tentang lingkungan sekitar kami.
Kalo dengan orang-orang yang gue kenal aja sebegitu teganya, apalagi yang ngga kenal sama sekali yekan.
Terus di salah satu postingan, gue liat dia mencantumkan video, dimana ada beberapa orang berteriak-teriak ingin memerangi orang kafir dan mengusir orang Cina.
Meski alasannya tidak sama dengan ketakutan gue, tapi video tersebut bisa membuat kemungkinan perginya etnis Tionghua dari Indonesia menjadi lebih tinggi. Bahkan dengan alasan yang lebih buruk menurut gue.
Gue takut.
Setelah membaca beberapa opini dan googling sekilas tentang Mei 98, gue takut kalau kejadian tersebut terulang kembali. Dan mungkin, dampaknya bukan hanya kepada etnis Tionghua, namun kepada semua pemeluk agama lain yang "mereka" sebut kafir (which is gue dan keluarga gue termasuk di dalamnya).
Gue lebih takut, dengan yang akan terjadi kepada orang-orang di sekeliling gue, yang beragama sama dengan mereka yang ada di video.
Ketika ada dari kelompok mereka yang tidak mau memusuhi kami karena alasan kemanusiaan atau pertemanan, akankah mereka juga ikut-ikutan dimusuhi?
Atau akankah mereka melepaskan pertemanan dan rasa kemanusiaan ini karena adanya ancaman permusuhan dari kelompoknya?
Gue takut.
Mungkin rasa takut gue masih kecil karena gue baru melihat dunia kecil sekeliling gue. Gue tidak aware dengan dampak sosial ekonomi budaya nasionalis yang terjadi di negeri ini.
Mungkin ketika gue aware dengan itu semua, gue akan memilih pindah dan keluar dari Indonesia karena besarnya rasa takut gue.
Tapi yang jelas, gue takut.
Tulisan ini hanya opini yang nggabisa gue sebarluaskan kemana-mana. Dan ditujukan hanya untuk mengeluarkan uneg-uneg semata.
Sembari menulis ini, gue mengirimkan doa atas Indonesia, atas bangsa ini, atas rasa kemanusiaan dari setiap manusia yang ada. Namun, kehendak Tuhan yang jadi, toh? Jika Tuhan sudah berkehendak, maka jadilah.
Senin, 01 Mei 2017
was ...
Aku punya teman baik.
Dulu.
Dia adalah orang yang mengerti (atau setidaknya menurutku dia mengerti) mengapa aku melakukan suatu hal.
Kemudian, tibalah saat aku pergi.
Dia tidak berkata apapun.
Aku rasa, dia tidak merasa sedih.
Atau mungkin karena dia memang kurang pintar mengungkapkan perasaannya.
Entahlah.
Lalu, kemudian sebulan, dua bulan, setahun, sekian tahun berlalu.
Aku kembali.
Dia tidak berkata apapun.
Aku rasa, dia tidak merasa senang.
Atau mungkin karena dia memang kurang pintar mengungkapkan perasaannya.
Entahlah.
Aku masih punya teman baik.
Aku harap.
Tapi sepertinya, aku salah.
Dia masih tidak berkata apapun.
Atau mungkin karena dia memang kurang pintar mengungkapkan apa yang ada dipikirannya.
Aku rasa, waktu dan jarak sudah memisahkan kami.
Mungkin, dia masih menjadi orang yang mengerti (atau setidaknya menurutku dia masih mengerti) mengapa aku melakukan suatu hal.
Tapi aku tidak.
Aku tidak mengerti perasaan dan pikirannya.
Aku tidak tahu apa yang ingin dia sampaikan.
Aku rasa, kami sudah tidak lagi berteman baik.
Aku pikir, dialah yang pergi meninggalkanku dengan yang lain.
Aku pikir, dialah yang sudah tidak lagi mau berteman denganku.
Tapi ternyata, aku rasa, aku yang kecewa.
Karena dia sudah berubah. Aku sudah berubah.
Caranya berbicara sudah lain. Caraku mendengar pun sudah lain.
Kami kehilangan waktu untuk membiasakan perubahan ini.
Aku rasa, aku kecewa karena dia tidak berkata apa-apa.
Dan aku semakin tidak mengerti apa yang coba dia sampaikan padaku.
Yah, setidaknya aku harus bersyukur.
Karena aku masih punya teman. Titik.
Dulu.
Dia adalah orang yang mengerti (atau setidaknya menurutku dia mengerti) mengapa aku melakukan suatu hal.
Kemudian, tibalah saat aku pergi.
Dia tidak berkata apapun.
Aku rasa, dia tidak merasa sedih.
Atau mungkin karena dia memang kurang pintar mengungkapkan perasaannya.
Entahlah.
Lalu, kemudian sebulan, dua bulan, setahun, sekian tahun berlalu.
Aku kembali.
Dia tidak berkata apapun.
Aku rasa, dia tidak merasa senang.
Atau mungkin karena dia memang kurang pintar mengungkapkan perasaannya.
Entahlah.
Aku masih punya teman baik.
Aku harap.
Tapi sepertinya, aku salah.
Dia masih tidak berkata apapun.
Atau mungkin karena dia memang kurang pintar mengungkapkan apa yang ada dipikirannya.
Aku rasa, waktu dan jarak sudah memisahkan kami.
Mungkin, dia masih menjadi orang yang mengerti (atau setidaknya menurutku dia masih mengerti) mengapa aku melakukan suatu hal.
Aku tidak mengerti perasaan dan pikirannya.
Aku tidak tahu apa yang ingin dia sampaikan.
Aku rasa, kami sudah tidak lagi berteman baik.
Aku pikir, dialah yang pergi meninggalkanku dengan yang lain.
Aku pikir, dialah yang sudah tidak lagi mau berteman denganku.
Tapi ternyata, aku rasa, aku yang kecewa.
Karena dia sudah berubah. Aku sudah berubah.
Caranya berbicara sudah lain. Caraku mendengar pun sudah lain.
Kami kehilangan waktu untuk membiasakan perubahan ini.
Aku rasa, aku kecewa karena dia tidak berkata apa-apa.
Dan aku semakin tidak mengerti apa yang coba dia sampaikan padaku.
Yah, setidaknya aku harus bersyukur.
Karena aku masih punya teman. Titik.
Sabtu, 29 April 2017
Kondangan sendiri ? Siapa takut !
Setiap orang punya musuh bebuyutannya sendiri.
Bagi gue, musuh gue adalah rasa takut.
Gue takut nantinya begini dan begitu. Lalu gue memikirkannya, dan ketika gue terlalu banyak berpikir, semakin banyak hal yang membuat gue takut.
Semalam, gue mengikuti KKR di daerah Gading Serpong.
Disana, gue ditantang untuk melawan musuh gue. Melawan ketakutan gue. Karena Dia, Tuhan kita, lebih besar dari musuh apapun.
Maka, dengan tekad bulat, gue memutuskan untuk hari ini tetap pergi kondangan meski seorang diri.
Gue gatau siapa yang akan ada di sana, jadi gue modal nekad dan modal percaya bahwa gue ngga akan dibiarkan sendiri.
Lalu, jadilah foto ini...
Teman seangkatan yang gue temui, dari sekian banyak orang yang hadir.
Bagi gue, musuh gue adalah rasa takut.
Gue takut nantinya begini dan begitu. Lalu gue memikirkannya, dan ketika gue terlalu banyak berpikir, semakin banyak hal yang membuat gue takut.
Semalam, gue mengikuti KKR di daerah Gading Serpong.
Disana, gue ditantang untuk melawan musuh gue. Melawan ketakutan gue. Karena Dia, Tuhan kita, lebih besar dari musuh apapun.
Maka, dengan tekad bulat, gue memutuskan untuk hari ini tetap pergi kondangan meski seorang diri.
Gue gatau siapa yang akan ada di sana, jadi gue modal nekad dan modal percaya bahwa gue ngga akan dibiarkan sendiri.
Lalu, jadilah foto ini...
Teman seangkatan yang gue temui, dari sekian banyak orang yang hadir.
Beruntungnya gue, di sana gue tidak hanya bertemu mereka. Ada beberapa senior yang juga gue temui dan berbaik hati mau menemani gue selama di sana.
Gue senang karena sudah berhasil mengalahkan ketakutan gue (setidaknya) untuk hari ini.
Kesan untuk sang mempelai :
Kak, aku merasa tersanjung ketika pertemanan kita masih di ingat. Aku merasa bahagia melihatmu akhirnya bertemu orang yang sesuai dengan yang kamu butuhkan. Setidaknya, kamu tidak lagi sendiri menghadapi segala yang akan menerpa nantinya.
Terima kasih untuk pertemanan ini. Terima kasih untuk pelajaran yang udah di kasih, dan juga waktunya. :)
Kamis, 27 April 2017
#OneFilmADay(OrMore)
I am Groot.
I am Groot.
I am Groot.

Groot kecil adalah tokoh yang paling gue suka!
Sampai saat gue nonton film ini, gue belum menonton volume 1 dari Guardians of the Galaxy, tapi sepertinya ngga gitu ngefek sih dengan euforia saat nonton volume 2-nya.
Episode ke-2 film ini sangat mengandalkan kekuatan sound effect-nya.
Biasanya, film action yang gue tonton kebanyakan membuat lelah di akhir film. Menurut gue karena memang mereka menggunakan sound yang mendukung adegan yang sedang dimainkan, agar tampak nyata chaos-nya. Dan hal itu juga membuat kita (atau gue) juga chaos dalam hal emosi.
Namun film ini berbeda. Mereka menggunakan backsound yang tidak umum seperti Awesome Mix Vol 2, sehingga membuat emosi penonton tidak terlalu terbawa dalam adegan perang tersebut. Lagu ini juga membuat penonton dapat tetap mengikuti detil film tanpa merasa tertekan dengan lagu yang membuat telinga pengang. Gue sendiri jadi bisa ikut bersenandung sambil tetap melihat detil peperangan yang terjadi.
Selain itu, gue rasa, sang sutradara juga ingin membuat film ini seimbang dengan unsur comedy-nya. Sehingga, selain mereka berbaik hati pada penonton, (gue rasa) mereka juga ingin meninggalkan kesan bahwa film ini bukanlah film bunuh-bunuhan yang sangat serius.
Dan gue menangkap kesan tersebut.
Gue suka karena humor yang digunakan tidak terlalu banyak, tapi juga tidak terlalu tinggi. Sehingga semua orang bisa menangkap humor yang disajikan dengan porsi yang pas.
Hal tersebut membuat film ini tetap bisa dilabeli dengan film action (bukan comedy) namun tetap tidak begitu berat untuk diikuti.
---
Setelah menulis review diatas, akhirnya gue menonton volume 1 dari film ini.
Gue amaze karena hingga setengah film, ke-4 tokoh (minus Groot karena dia tidak mengerti apa-apa) sebenarnya tidak begitu akur. Gue kira memang mereka sudah berteman dari awal, ternyata mereka bahkan berasal dari kubu berbeda yang saling incar.
Penyampaian mengenai 'proses pertemanan' mereka sepanjang film tidak terlalu cheesy dan gue rasa masih make sense ketika mereka bisa menjadi teman karena mereka memiliki kesamaan background, yaitu kehilangan.
Jika mereka berdiri sendiri, mungkin mereka akan menjadi lebih kuat karena tidak ada kehilangan yang mereka ingat. Namun meski kebersamaan mereka menunjukkan bahwa mereka sama-sama pernah merasa kehilangan, gue rasa, itulah yang membuat mereka semakin kuat. Ketika mereka bisa mengisi kekosongan satu sama lain.
Hal terakhir yang gue suka dari film ini adalah, adanya kesinambungan antar film. Contohnya kaset musik Awesome Mix Vol 2 yang dimiliki oleh Peter.
Detil dari film yang menurut gue tidak semua sutradara bisa lakukan. Kita seringkali fokus pada hal-hal besar dan umum dari film yang mudah dilihat dan mudah diperhatikan, untuk mencari kesinambungan antar film. Misal seperti adanya perbedaan kostum, adanya kesamaan luka dari tokoh, dan lain sebagainya.
Tapi gue suka ketika sang sutradara memilih kesinambungan lagu dan hal kecil mengenai musik yang membuat penonton merasa familiar dengan film ini.
Lebih lagi karena jenis musik ini cukup netral untuk semua kalangan.
#OneFilmADay(OrMore)
Senin, 24 April 2017
#OneFilmADay(OrMore)
Karena tidak selesai membaca buku 24 wajah Billy dengan alasan "bosan", maka gue juga mengasumsikan bahwa film ini sama membosankannya.
Menonton film Sybil juga agak membuat gue bosan karena ending filmnya yang agak menggantung.
Namun, akhirnya gue memutuskan untuk menonton film ini.
Seketika, gue terkesima dengan acting James McAvoy sebagai Barry / Patricia / Dennis / Hedwig / The Beast.
Berbeda halnya dengan actingnya dalam X-Men yang kurang meninggalkan kesan bagi gue; dalam film ini, James McAvoy sangat-sangat mengesankan.
Peran-peran yang dia mainkan sangat detil dengan mimik muka yang mendukung. Gue melihat raut wajah, tarikan garis senyum, kerutan alis mata, dengan garis muka yang berbeda untuk tiap peran yang berbeda pula.
Postur tubuh yang ditampilkan pun berbeda sesuai karakter yang sedang dimainkan.
Satu hal yang gue rasa menjadi ciri khas dari peran Barry ini adalah gagap atau suara terbata-bata yang dikeluarkan di setiap peran, yang menunjukkan bahwa masih ada jiwa Barry dalam peran-peran lainnya.
Hal lain yang menurut gue menarik juga adalah tokoh Casey. Dari awal, gue menebak bahwa Casey (sedikit) memahami "Barry" karena punya fenomena yang sama, atau setidaknya memiliki orang terdekat yang juga mengidap DID.
Hal yang sedikit mengganggu gue adalah scene Hedwig yang menunjukkan "jendela" kepada Casey. Gue merasa scene tersebut sudah pernah diputar di film lain, atau mungkin gue sudah membayangkan scene tersebut sebelumnya (?)
Yah, SPLIT sangat recommended untuk ditonton, terutama oleh mahasiswa Psikologi. Disini kita bisa belajar mengenai mimik muka dan gestur tubuh.
imagesource : google.com
Menonton film Sybil juga agak membuat gue bosan karena ending filmnya yang agak menggantung.
Namun, akhirnya gue memutuskan untuk menonton film ini.
Seketika, gue terkesima dengan acting James McAvoy sebagai Barry / Patricia / Dennis / Hedwig / The Beast.
Berbeda halnya dengan actingnya dalam X-Men yang kurang meninggalkan kesan bagi gue; dalam film ini, James McAvoy sangat-sangat mengesankan.
Peran-peran yang dia mainkan sangat detil dengan mimik muka yang mendukung. Gue melihat raut wajah, tarikan garis senyum, kerutan alis mata, dengan garis muka yang berbeda untuk tiap peran yang berbeda pula.
Postur tubuh yang ditampilkan pun berbeda sesuai karakter yang sedang dimainkan.
Satu hal yang gue rasa menjadi ciri khas dari peran Barry ini adalah gagap atau suara terbata-bata yang dikeluarkan di setiap peran, yang menunjukkan bahwa masih ada jiwa Barry dalam peran-peran lainnya.
Hal lain yang menurut gue menarik juga adalah tokoh Casey. Dari awal, gue menebak bahwa Casey (sedikit) memahami "Barry" karena punya fenomena yang sama, atau setidaknya memiliki orang terdekat yang juga mengidap DID.
Hal yang sedikit mengganggu gue adalah scene Hedwig yang menunjukkan "jendela" kepada Casey. Gue merasa scene tersebut sudah pernah diputar di film lain, atau mungkin gue sudah membayangkan scene tersebut sebelumnya (?)
Yah, SPLIT sangat recommended untuk ditonton, terutama oleh mahasiswa Psikologi. Disini kita bisa belajar mengenai mimik muka dan gestur tubuh.
imagesource : google.com
#OneFilmADay(OrMore)
Selasa, 28 Februari 2017
Si Bapak yang Selalu Tersenyum
"Neng, mau ke kampus ya?"
"Enggak, Pak. Mau kerja hehe"
*percakapan diatas sudah hampir beribu kali gue lakukan dengan driver ojek online yang mengantar gue berangkat kerja.
---
Namanya Pak Yudi.
Seorang Bapak yang usianya tak jauh dari 40-an.
...
Pagi gue diawali dengan sesuatu yang buruk,
Gue bersyukur tidak diakhiri dengan sesuatu yang juga buruk.
Gue berangkat ke kantor dengan tergesa-gesa.
Kesal dengan jadwal commuter line yang selalu ngaret.
Dengan hati dongkol, gue memasang tampang kusut sepanjang jalan.
Dengan rencana naik ojek online untuk memotong jalan dan menghemat waktu, akhirnya gue turun di Stasiun A.
Karena untuk ke stasiun tujuan yang dekat kantor, gue membutuhkan waktu dua kali lipat dari waktu tempuh gue ke Stasiun A.
Celakanya, setelah gue turun, sinyal hape gue menghilang.
Udah di cari ke kolong-kolong jembatan pun nggak ketemu (boong deng)
Ditunggu semenit, dua menit, sepuluh, lima belas menit, hingga setengah jam.
Gue sudah isi ulang pulsa, dan daftar paket untuk nambah kuota,
gue juga udah restart hape gue, sinyal pun tak kunjung datang.
Kondisi baterai hape gue juga cukup mengenaskan.
Akhirnya dengan berat hati, gue memutuskan untuk naik kereta lagi menuju stasiun dekat kantor.
Sudahlah, toh gue juga sudah terlambat.
Apa bedanya terlambat setengah jam dan terlambat dua jam.
Kemudian, karena di tengah perjalanan akhirnya sinyal hape gue kembali,
gue merasa ada secercah harapan untuk sampai lebih cepat dengan memotong jalan dari Stasiun B.
Sinyal hape aman.
Ojek online sudah dipesan.
Namun cuaca sedikit mendung.
Dan benarlah, ditengah perjalanan dengan ojek online, akhirnya hujan pun turun.
"Neng, kita turun dulu ya pakai jas hujan", katanya. "Ini sepatunya mau dilepas aja nggak neng? disimpen di jok motor biar nggak basah, kasihan neng".
Gue yang masih kesal tanpa sengaja menyambar, "saya nyeker dong, Pak?!"
"Nanti neng pake sendal Bapak aja. Gapapa. Cowok mah biasa neng nyeker juga." Sambil tetap tersenyum, Bapak tersebut memberikan sendalnya dan mengajak saya bergurau.
Belum hilang kesal saya, lima menit setelah perjalanan dilanjutkan, hujan pun berhenti.
"Wah, hujannya cuman gertakan doang ya neng. Hehe", Si Bapak tetap sabar mengajak saya bergurau.
Saya tetap kesal karena sudah seperti orang konyol sampe copot-copot sepatu segala, pada di daerah kantor saya panas terik.
Si Bapak akhirnya pergi dengan ucapan terimakasih karena saya sudah mau memakai jasanya.
Dan saya tertinggal sendirian dengan merenung.
Ternyata masih ada orang yang sesabar dan sebaik itu.
Meski saya memulai hari dengan kesal, saya tidak mengakhirinya dengan tetap kesal.
"Enggak, Pak. Mau kerja hehe"
*percakapan diatas sudah hampir beribu kali gue lakukan dengan driver ojek online yang mengantar gue berangkat kerja.
---
Namanya Pak Yudi.
Seorang Bapak yang usianya tak jauh dari 40-an.
...
Pagi gue diawali dengan sesuatu yang buruk,
Gue bersyukur tidak diakhiri dengan sesuatu yang juga buruk.
Gue berangkat ke kantor dengan tergesa-gesa.
Kesal dengan jadwal commuter line yang selalu ngaret.
Dengan hati dongkol, gue memasang tampang kusut sepanjang jalan.
Dengan rencana naik ojek online untuk memotong jalan dan menghemat waktu, akhirnya gue turun di Stasiun A.
Karena untuk ke stasiun tujuan yang dekat kantor, gue membutuhkan waktu dua kali lipat dari waktu tempuh gue ke Stasiun A.
Celakanya, setelah gue turun, sinyal hape gue menghilang.
Udah di cari ke kolong-kolong jembatan pun nggak ketemu (boong deng)
Ditunggu semenit, dua menit, sepuluh, lima belas menit, hingga setengah jam.
Gue sudah isi ulang pulsa, dan daftar paket untuk nambah kuota,
gue juga udah restart hape gue, sinyal pun tak kunjung datang.
Kondisi baterai hape gue juga cukup mengenaskan.
Akhirnya dengan berat hati, gue memutuskan untuk naik kereta lagi menuju stasiun dekat kantor.
Sudahlah, toh gue juga sudah terlambat.
Apa bedanya terlambat setengah jam dan terlambat dua jam.
Kemudian, karena di tengah perjalanan akhirnya sinyal hape gue kembali,
gue merasa ada secercah harapan untuk sampai lebih cepat dengan memotong jalan dari Stasiun B.
Sinyal hape aman.
Ojek online sudah dipesan.
Namun cuaca sedikit mendung.
Dan benarlah, ditengah perjalanan dengan ojek online, akhirnya hujan pun turun.
"Neng, kita turun dulu ya pakai jas hujan", katanya. "Ini sepatunya mau dilepas aja nggak neng? disimpen di jok motor biar nggak basah, kasihan neng".
Gue yang masih kesal tanpa sengaja menyambar, "saya nyeker dong, Pak?!"
"Nanti neng pake sendal Bapak aja. Gapapa. Cowok mah biasa neng nyeker juga." Sambil tetap tersenyum, Bapak tersebut memberikan sendalnya dan mengajak saya bergurau.
Belum hilang kesal saya, lima menit setelah perjalanan dilanjutkan, hujan pun berhenti.
"Wah, hujannya cuman gertakan doang ya neng. Hehe", Si Bapak tetap sabar mengajak saya bergurau.
Saya tetap kesal karena sudah seperti orang konyol sampe copot-copot sepatu segala, pada di daerah kantor saya panas terik.
Si Bapak akhirnya pergi dengan ucapan terimakasih karena saya sudah mau memakai jasanya.
Dan saya tertinggal sendirian dengan merenung.
Ternyata masih ada orang yang sesabar dan sebaik itu.
Meski saya memulai hari dengan kesal, saya tidak mengakhirinya dengan tetap kesal.
Senin, 20 Februari 2017
:)
... Setiap orang punya kisahnya masing-masing.
... Setiap orang punya kenangannya masing-masing.
Bagiku,
Dia adalah sosok yang sangat ceria.
Selalu bisa menularkan semangat buat semua orang, pun untukku.
Dia selalu tampil dengan senyum merekah.
Menjawab tanyaku dengan nada yang girang.
Si kecil yang lincah dan enerjik.
Tak banyak, tapi selalu hangat.
Kenangan tentangnya berisi diskusi-diskusi tentang masa depan.
"... Nantinya begini, nantinya begitu.
Ingin kesini, ingin kesitu..."
Mendorongku untuk berani mencoba sesuatu yang aku belum tau apa itu.
Terimakasih untuk semangatnya.
Selamat jalan.
Selamat tidur nyenyak.
... Setiap orang punya kenangannya masing-masing.
... Setiap orang punya sedihnya masing-masing.
... Setiap orang punya kenangannya masing-masing.
Bagiku,
Dia adalah sosok yang sangat ceria.
Selalu bisa menularkan semangat buat semua orang, pun untukku.
Dia selalu tampil dengan senyum merekah.
Menjawab tanyaku dengan nada yang girang.
Si kecil yang lincah dan enerjik.
Tak banyak, tapi selalu hangat.
Kenangan tentangnya berisi diskusi-diskusi tentang masa depan.
"... Nantinya begini, nantinya begitu.
Ingin kesini, ingin kesitu..."
Mendorongku untuk berani mencoba sesuatu yang aku belum tau apa itu.
Terimakasih untuk semangatnya.
Selamat jalan.
Selamat tidur nyenyak.
... Setiap orang punya kenangannya masing-masing.
... Setiap orang punya sedihnya masing-masing.
Minggu, 08 Januari 2017
How to be success!
Stop making an excuse for what you want!
Alasan utama kegagalan adalah karena kita memutuskan untuk gagal dari awal.
Kita merasa kita AKAN gagal.
Kira berpikir kita AKAN gagal.
Maka kita MENJADI seorang yang gagal di mata kita.
---
Alasannya?
Aku tidak cukup mampu (capable).
Tidak punya kesempatan.
Terkendala dengan bahasa.
Bukan berasal dari keluarga yang berada.
Tidak dikenal orang.
Bukan siapa-siapa.
Nggak akan didengar orang.
And i can do this for semaleman mungkin...
Jadi, nanti yang akan kulakukan adalah mengurangi berpikir
"Apakah aku harus melakukan ini?"
Yang biasanya diikuti dengan
"Kan aku ..."
Dan menggantinya dengan
"I Must Do It! Because ..."
---
So, mari kita lihat kedepan.
Dan kita lakukan.
Wanita-wanita penginspirasi!
Banyak sekali yang terjadi pada gue beberapa bulan kebelakang.
Banyak hal yang gue lihat. Banyak hal yang gue pelajari. Banyak hal yang gue lakukan.
Banyak hal yang gue pikirkan.
Banyak hal yang ingin gue buat.
Hal itu membuat gue kehilangan minat untuk menulis.
Tulisan-tulisan gue berhenti hanya sampai di ide.
Namun, kemarin gue berkesempatan mengisi waktu libur gue dengan sesuatu yang membuat gue ingin segera menulis.
Gue bertemu dengan beberapa orang wanita.
.
Pertama, seorang wanita yang tampil dengan cukup sederhana.
Blus, rok denim selutut, sepatu kets, dan di pundaknya disampirkan jaket untuk menghalau dingin.
Awalnya gue tidak tau apa yang akan beliau sampaikan.
Tapi akhirnya, gue terkesima.
Alih-alih presentasi atau menjadi motivator, she shared stories.
Gue amazed karena beliau bekerja tidak asal berkarya, namun juga dapat menyajikan dengan baik, cerita di balik semua mimpinya di masa lalu.
Beliau juga merupakan orang yang cukup vokal. Berani merasa benar, dan karena memang beliau benar. Berani menegur yang salah. Berani berkata tidak. Berani mengambil resiko.
I wonder, akankah gue punya stories-behind-me, just like her.
.
Kedua, seorang wanita yang gue rasa memiliki consciousness yang tinggi.
Mini dress dan kets. Gue selalu suka style ini. Menampilkan bahwa gaya pun bisa tidak merepotkan. Well, mengingat adanya jargon beauty is pain...
Beliau banyak bertanya. Beliau banyak ingin tahu (dan menjelaskan alasan dibaliknya). Beliau cukup banyak mencecar. Namun beliau juga cukup banyak memberi support.
Dari beliau, gue diingatkan kembali bahwa gue harus bisa memulai.
"Apa yang salah dengan mencoba?"
Gue melihat setitik jiwa gue didalam beliau. Banyak ingin tahu, namun lebih karena peduli atau memang penasaran, dan bukan asal kepo atau ingin mengumpulkan bahan untuk mencerca.
I wonder, akankah gue bisa sevokal beliau dalam mempertanyakan segala hal (just want to make sure gue jelas dengan segala hal tersebut).
.
Ketiga, seorang wanita yang melewati banyak proses, sehingga akhirnya menghargai mereka yang ingin berproses.
Kemeja santai, jeans, kets. Dengan semacam no-make up-make up-but-smile :) .
Pertemuan dengan wanita ini bukan yang pertama. Namun, ini kali pertama gue melihat dia berbicara di depan dengan sepenuh jiwa. Dia tidak berbicara dengan semangat yang berapi-api. Dia tidak menggunakan nada suara yang naik sekian oktaf. Dia tidak menyampaikan materinya dengan menggebu-gebu.
Justru sebaliknya, dia berbicara cukup perlahan, dengan nada 1 oktaf lebih rendah, untuk memastikan apa yang dia sampaikan benar-benar dapat diterima dengan baik oleh audience. Berbicara dengan mata berbinar, dan napas yang menderu, dengan suara yang tercekat.
Mendengar sedikit proses yang dia lalui, dan pencapaiannya saat ini, gue merasa salut bahwa dia berani keluar dari zona nyamannya.
I wonder, akankah dengan proses yang gue lalui sekarang, gue bisa menjadi speaker sepertinya.
.
Sebagai tambahan, dalam kegiatan tersebut, gue melihat 19 orang yang usianya tak jauh beda dari gue, memiliki mimpi yang tak jauh beda dari gue, tapi memiliki usaha yang 2, 3, bahkan 4 langkah lebih jauh dibanding gue. Mereka memulai dari hal yang kecil. Dari lingkungan terdekat mereka. Dari 1 tantangan kecil, dan dari 1 minggu pertama. Gue amaze dengan hasil yang mereka capai, sedang gue belum apa-apa.
.
Untuk itu, sekarang ini gue harus mulai memikirkan dengan benar. Mimpi apa yang ingin gue capai? 1, 5, 10, 20 tahun lagi. Akan jadi apa gue? Akan jadi seperti apa gue ingin dilihat orang?
... Dan yang terpenting, bagaimana gue akan mencapainya!
- Karena hanya ada 3 hal yang menghambat kita : SUNGKAN, GENGSI, DAN JAIM. -
LC
Langganan:
Komentar (Atom)


