Gue bukan tipe orang yang anti nonton film buatan dalam negri.
Berbekal cerita temen gue tentang sinopsis film, dan ajakan dadakan oleh rekan kerja, jadilah kami pergi menonton film Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak sebelum filmnya turun karena nggak laku. :p
Sebelum menonton, yang bikin gue penasaran adalah bagaimana cara pengambilan gambar yang melibatkan kepada dan badan yang terpenggal. Gue rasa, Indonesia belum secanggih itu dalam memproduksi film. Tapi ternyata gue salah.
Salut sih sama industri perfilman Indonesia yang semakin lama semakin baik. Mereka bisa membuat film itu tampak nyata tanpa embel-embel efek komputer yang terlihat.
Dari segi cerita, menurut gue film ini sangat cerdas.
Yang gue lihat adalah penulis cerita yang ingin menunjukkan sarkasme cerdasnya atas keprihatinannya melihat keadaan Indonesia saat ini.
Ada beberapa poin yang gue tangkap dari film ini.
Pertama, filmnya diambil di setting bagian Timur Indonesia.
Menurut gue, selain ingin menunjukkan daya tarik Sumba, sang penulis ingin menunjukkan kemirisan budaya yang seperti tertinggal dan kurang diperhatikan.
Gue tidak bilang daerahnya kumuh, karena meski daerahnya sangat sederhana dan oranye, setiap sudut yang tersorot kamera bisa membuat kita rehat sejenak dari penatnya rutinitas perkotaan.
Kedua, Gue belum pernah melihat film dengan alur cerita yang cukup pendek, tapi disajikan dengan cukup tidak membosankan. Kalau tidak salah ingat, film ini hanya bercerita tentang 2 malamnya Marlina, yang lambat, tapi terkesan cepat.
Tempo film ini memang terbilang lambat, sampai-sampai temen gue aja sempet ketiduran beberapa detik ditengah film :p
Tapi bagi gue, transisi film (yang semakin menekankan pelannya peralihan film) juga memberi kita ruang dan waktu untuk mencerna cerita dan informasi yang disajikan.
Scene pertama dalam film menggambarkan seorang penjahat yang masuk ke dalam rumah Marlina dengan izin terlebih dahulu. Mengatakan bahwa temannya akan datang, dan meminta dibuatkan makan malam. Marlina dengan tidak berdaya, hanya bisa resah sambil pasrah dan mengikut apa maunya si penjahat.
Bagi gue, scene ini menggambarkan betapa "penjahat" zaman sekarang, adalah mereka-mereka yang punya kekuasaan, dan dengan manisnya izin bahwa akan meraup harta kita, tapi karena ketidak berdayaan kita, mereka kebal dengan hukum.
Marlina, dengan tujuan membela diri, akhirnya membunuh satu persatu penjahat tersebut, tapi menyisakan dua orang komplotan yang sedang tak ditempat. Bermaksud membuat laporan ke kantor polisi, dibawalah potongan kepala yang dipenggal dari salah satu penjahat tersebut. Tapi, dengan segala keterbatasan yang ada, Pak Polisi tak bisa melakukan banyak untuk membela Marlina.
Bagian ini menggambarkan bahwa betapa tidak terfasilitasinya teman-teman kita di pinggiran, dengan ketersediaan alat-alat kesehatan dan pemeriksaan yang memadai. Bahkan transportasi dari rumah ke kantor polisi aja hanya ada tiap sejam sekali, dan jalannya super duper lambat. Kayaknya masih cepetan gue kalo lari wkwk
Scene lain yang jadi sorotan gue adalah, ketika salah satu komplotan penjahat, menyandera teman Marlina, agar bisa mendapatkan kembali potongan kepala bosnya. Lalu, sempat-sempatnya dia berTERIMA KASIH kepada Marlina karena sudah mau mengembalikannya. Sungguh penjahat yang sangat sopan. Prok prok prok.
Menurut gue, fenomena ini menggambarkan betapa orang-orang yang sebenarnya jahat, tidak mau terlihat sebegitu jahatnya, dengan membuat excuse "pembelaan diri", seakan-akan hal tersebut bisa menghilangkan title penjahat dari diri mereka. Mereka playing victims seakan-akan menjadi korban dan Marlina lah penjahatnya. Aku geram sekali. Huuuh.
Miris memang nonton film ini.
Tapi memang lokasinya bagus, pengambilan gambarnya juga bagus, filmnya ritmik dan menurut gue tidak bisa sembarang orang juga yang menonton film ini lantas menjadi penikmatnya.
Ya bisa jadi sebenarnya sang penulis punya makna lain dalam pembuatan film ini, tapi itulah makna yang gue dapat. Dan gue suka sama film ini. :)
So, happy watching!
#OneFilmADay(OrMore)

Nice
BalasHapus