Aku menyukaimu.
Aku suka ketika kamu mengernyitkan muka, membuat 'muka jelek' hanya untuk membuatku tersenyum.
Aku senang ketika kamu memukul kepalaku tanda sayang.
Sembari mengelusnya perlahan.
Aku sayang kamu.
Kamu tahu apa yang harus dilakukan saat menghadapiku yang emosional ini.
Ketika aku sedang merasa sangat sedih, kamu membuatku merasa bodoh.
Bodoh, bersedih atas hal yang sebenarnya tidak perlu dipikirkan.
Ketika aku sedang senang, kamu ikut tersenyum.
Mengalikan rasa senangku menjadi semakin membuncah.
Aku senang ada kamu disana.
Di tempat yang selalu sama, membuatku ingin berulang kali menghampiri.
***
Minggu lalu, aku menghadiri sebuah kelas analisis eksistensial, yang menyarankan seluruh pesertanya untuk lebih menghargai rasa sayang, dan mengungkapkannya melalui kata.
Kala itu, aku masih berpikir...
Sayang memang tidak perlu memiliki.
Kehadirannya cukup untuk dirasakan. Bentuknya cukup diberikan.
Asal saja aku tersenyum, mungkin itu cukup bagimu.
Namun, sebersit rasa sedih mulai muncul.
Tidak memilikimu, sama artinya membuang rasa sayang ini kesembarang arah.
Tidak perlu tahu tepat sasaran atau tidak, yang penting aku bisa memberikannya.
Tidak memilikimu, membuat hatiku sakit.
Bahwa aku hanya bisa memberi tanpa mendapat balasan sayangmu.
Tapi sudahlah, mungkin hanya karena rasa ini semu.
Aku tak berani meyakinkan diriku.
Apakah aku layak?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar