Kamis, 25 Januari 2018

Bergemuruh

Biasanya yang dadakan itu selalu jadi.
Berbekal ajakan, "Lid, nonton yuk!", lalu mengajak beberapa orang untuk menonton film di jam terakhir malam itu, lalu jadilah...



Responnya? 

Nobody told me kalo film ini adalah drama musikal. Kirain mah ya film drama kehidupan biasa. Makanya beberapa menit pertama amazed karena “drama kehidupan” kok ya detil amat sama music and dance nya. Terkesima sesaat sama detil transisi setiap scene yang continuity-nya dapet banget.


Dan suara castnya bikin meleleh!
Beberapa minggu ini ngikutin sebuah reality show ajang pencarian bakat di Indonesia, yang mana setiap juri selalu mengingatkan finalisnya bahwa mereka harus bernyanyi dari hati. Mereka harus menyampaikan rasa dengan tulus. Mereka harus menyanyikan lagu dengan penuh emosi. Awalnya ndak ngerti sih kenapa para juri sangat fokus ke hal itu. Toh menurut gue, mereka mah nyanyi udah bagus-bagus kok suaranya. (Ini beneran, bukan karena gue nggabisa nyanyi haha)  Lalu, setelah nonton film ini, baru deh gue ngerti apa maksudnya. HAHAHA

Ngga semua lagu awalnya gue ngerti apa arti liriknya. Tapi mah maksudnya tetep nyampe kok ke gue, karena dibawakan dengan penuh “rasa”. 

Salam zuper buat koreografer dance dan yang ngaransemen musiknya. Luar biasa. Mereka bener-bener mikirin the whole film sebagai sebuah kesatuan tim, bukan tim yang berdiri sendiri dan pengen nonjolin ke-khas-an timnya masing-masing. Ibarat kata teori nih, mereka pake teori Gestalt buat bikin film ini. Haha Mereka bisa menyatukan semua hal dalam hidup, menjadi sebuah dentuman melodi. Mulai dari ketukan palu, hentakan kaki, bahkan sampai gesekan kursi dan gelas. Perfecto!


“Lupakan kurungan, karena kami tahu cara membuat kuncinya.”


Gue yang awalnya mengira film ini mengenai drama kehidupan, merasa sedikit kecewa dengan alur ceritanya yang terlihat “sangat mudah”. Alur ceritanya seperti ada yang kurang lengkap, dan kurang detil di beberapa cerita yang sebenarnya menjadi inti rasa dari film ini. Entah karena memang mereka terlalu detil pada musik dan koreo, sehingga jadi kedodoran di bagian alur cerita; atau memang karena durasi, sehingga mereka terpaksa memotong beberapa scene (bahkan juga yang termasuk scene kunci dalam film ini).

Tapi, nggapapa. Menurut gue, hutang itu masih bisa dibayar dengan “rasa” yang disampaikan melalui lirik lagu dan gerakan tubuh para pemainnya.

Melalui film ini, gue belajar bahwa hidup kita adalah musik, jadi... dibawa asik ajeee~ haha Kagak deng. Gue jadi diingatkan kembali sihh bahwa mimpi-mimpi yang gue punya selama ini, harus mulai gue lihat kembali dan kembangkan. Gue harus bisa belajar menghidupi mimpi gue. Karena, kalo kata P.T. Barnum, 

“Satu-satunya yang membatasi seseorang hanyalah imajinasinya”.


Bahkan beberapa minggu setelah menonton filmnya, "emosi"nya masih terasa. Emosi yang gue rasakan dari scene pertama Hugh Jackman bernyanyi. Bahkan dari pementasan pertama, sang director berhasil mempermainkan emosi gue. Sesuatu yang terasa too much, too good to be true, kemudian hening dan hampa. Gamang. Kayak abis ngerasain manic, tapi lalu jadi depresi.


Saking sukanya sama film ini, gue liatin channel-channel youtube yang mengulas cerita-cerita tentang mereka. Gue salut karena mereka bahkan melakukan latihan sekitar 3 bulan sebelum mereka syuting. Memastikan bahwa setiap scenenya dan koreonya terpahami dengan baik. Bahkan emosi tersebut sudah muncul dari saat mereka latihan !!

Ah, gue kurang pintar berkata-kata. Bahkan setelah menulis sepanjang ini aja gue masih belum bisa menyampaikan maksud gue dengan baik. Intinya nonton sendiri ajadahh. 

Kalo kata Hugh Jackman dalam sebuah interview di kanal Youtube YAAAS TV, “ ... Please go and see THE GREATEST SHOWMAN and i think you will find it is uplifting, it will open your heart, it will make you smile, it will make you sing, but ultimately, it will make you celebrate humanity in your life. Please go and enjoy ;)”


                                                                                                    #OneFilmADay(OrMore)

1 komentar: