Waktu itu gue sedang ditengah workshop di daerah Jakarta Selatan, dan tawaran tiket terebut datang tiba-tiba.
Rasanya ?
Gue merasa asing. Berada di lingkungan yang belum gue kenal.
Tapi juga takjub, karena dari gerak gerik tubuh mereka aja gue bisa lihat bahwa mereka sama excitednya dengan gue, meski mungkin alasannya berbeda.
Senang mendengar antusiasme semua orang, baik yang hanya tergila-gila dengan pemerannya, maupun yang memang tertarik membahas dalam segi pengambilan gambarnya.
Oke, sekarang dari sisi konten filmnya.
Filmnya berjudul "POSESIF" yang dimainkan oleh Adipati Dolken dan Putri Marino, dan diproduksi oleh Palari Film.
![]() |
| source : dokumentasi pribadi |
Setelah menonton film ini, gue semacam mengalami disonansi kognitif.
Setting usia pemeran utama adalah usia anak SMA yang hampir lulus dan akan melanjutkan ke ke bangku kuliah.
Setting usia pemeran utama adalah usia anak SMA yang hampir lulus dan akan melanjutkan ke ke bangku kuliah.
Sebagai orang yang pernah melalui masa-masa itu, gue berusaha berempati dengan peran sang tokoh utama. Mencoba menjadi gue semasa SMA dulu.
Tapi ternyata, malah si tokoh utama yang lebih mendalami peran sebagai orang dengan seusia gue. Perasaan dulu gue waktu SMA ngga gitu-gitu amat deh waktu ada di usia mereka. Gue ngga punya pemikiran sejauh itu, ngga senekat mereka, dan juga belum merasakan konflik seperti yang mereka alami.
Lalu gue mengevaluasi diri,
Antara gue yang emang terlalu kudet dulunya...
Atau kids jaman now yang terlalu canggih dan terlalu cepat dewasa.
Ada beberapa scene yang kemudian membuat gue merasa gagal sebagai lulusan psikologi. Gue masih saja kaget dan kejebak sama scene-scene tersebut, yang padahal sudah dijelaskan di berpuluh-puluh SKS waktu kuliah, dan seharusnya gue sudah menyadari itu dari awal. Anak macam apa saya ini... -_-a
Intinya, gue seharusnya menangkap gejala adanya imitasi dan faktor pola asuh dalam hubungan anak dengan orang sekitarnya, baik itu teman maupun pacar.
Ada beberapa scene yang kemudian membuat gue merasa gagal sebagai lulusan psikologi. Gue masih saja kaget dan kejebak sama scene-scene tersebut, yang padahal sudah dijelaskan di berpuluh-puluh SKS waktu kuliah, dan seharusnya gue sudah menyadari itu dari awal. Anak macam apa saya ini... -_-a
Intinya, gue seharusnya menangkap gejala adanya imitasi dan faktor pola asuh dalam hubungan anak dengan orang sekitarnya, baik itu teman maupun pacar.
Orang tua si tokoh utama cenderung menggunakan kekesaran untuk menunjukkan bahwa dia menyayangi anaknya, lalu meminta maaf sebagai bentuk excuse. Lalu, si anak yang tidak pernah mendapat kasih sayang dengan "cara berbeda", merasa bahwa itulah satu-satunya cara mengungkapkan kasihnya, yang akhirnya ditiru dan digunakan kepada pacar (pertama)nya.
Menurut gue, salahnya sang pacar adalah menerima tanpa mengingatkan. Berpacaran seperti itu bukanlah pacaran yang sehat sih menurut gue. Yahh, gue mah sotoy-sotoyan aja, karena pengalaman gue juga masih seiprit-iprit. Haha
Tapi kece sih filmnya. Alurnya rapih, kualitas gambarnya setingkat lebih bagus dari kebanyakan film dalam negri. Story linenya ciamik. Salah satu film dalam negri yang cukup oke, yang bahkan belum tayang resmi tapi udah nyabet 10 nominasi di FFI.
Film yang patut ditonton, namun harus hati-hati dalam menyimpulkan pesan yang ingin disampaikan oleh film ini.
#OneFilmADay(OrMore)

Hoo
BalasHapus