Memutuskan menonton karena termakan rasa penasaran.
Kemudian
memutuskan kecewa, karena termakan ekspektasi.
Semua orang punya Dilannya masing2. Punya bayangannya akan
Dilannya sendiri.
Bagiku, Dilanku adalah sesosok anak SMA, menggunakan seragam
biru, yang tak rapi dimasukkan celana dengan warna senada. Dilan yang cungkring
dan jangkung. Dilan dengan senyum setengah tiangnya. Senyum tengil contempt
dengan rasa yang bikin gregetan. Yang lebih sering nyengir ketimbang senyum
manis.
Dilanku adalah dia yang cuek, tapi baik sama semua orang.
Dilan yang bandel, tapi tetap respect sama guru-gurunya. Dilan yang bukan idola
sekolahnya, tapi tetap punya pengagum rahasia. Yah, semua orang punya Dilannya
masing2. Punya bayangan akan bagaimana sosok Dilan dalam "hidup"
mereka. Yang jelas, Dilanku sudah pergi entah kemana. Terakhir hanya sempat kulihat punggungnya di balik pagar rumah, tanpa sempat mengucap selamat tinggal. Dan tak pernah bertemu
sejak 7 tahun lamanya. Dilan 2011.
---
Setiap orang juga punya rasanya masing2 setelah menonton
film ini. Aftertastenya berbeda buat tiap pribadi, tergantung memori apa yang
paling kuat ditarik kembali oleh penggalan pengalaman sederhana dalam film ini.
Aftertaste ku sedih. Entah kenapa, entah apa. Lagi2, seperti
merasa depresi setelah merasakan manic. Tapi bukan karena filmnya sendiri.
Karena memori yang terpanggil mungkin memori yang menyedihkan, memori yang
sudah kadaluarsa dan tak bisa diulang.
---
Film ini menyenangkan memang. Menyadarkan bahwa pada tahun
1990, muda mudi bisa senang hanya karena disapa selamat pagi oleh orang yang
belum dikenal. Muda mudi bisa cengengesan sendiri karena dapat TTS yang sudah
terisi. Dan muda mudi bisa berbunga2 karena dapat telpon (hampir) tiap malam.
Yang jelas sih ngga ada adegan rebutan "kamu duluan yang tutup telponnya".
Mungkin bagi para generasi X, mereka akan merasakan
nostalgia saat menonton film ini. Bersyukur karena mereka masih familiar dengan
cara pedekate yang sesederhana itu. Bersyukur karena saat itu, ngga semua cewe
harus didekati bermodal mobil mentereng dan barang2 branded.
Mungkin bagi para millenials, mereka senyum2 hebring sendiri
karena gemes sama cowo tengil kayak Dilan, yang jarang ditemui pada masa2
seperti ini. Lalu, mungkin habis ini, akan tiba masanya, kepuasan hubungan
mereka menurun, dan mereka menuntut pasangan masing2 untuk jadi seromantis
Dilan.
---
Oke, mari kita mulai review filmnya. Yang di atas tadi baru pemanasan 😜
Filmnya buatku mengajarkan bahwa kita bisa bilang sesuatu
dengan jujur tanpa embel2 malu, negative thinking, atau modus, atau baper, atau
apalah-itu-yang-sebenarnya-normal-tapi-jadi-aneh-karena-capnya-netizen.
Senang itu sesederhana dapat telpon dari dia.
Khawatir itu sesederhana gabisa nemuin dia pada saat jam
istirahat.
Marah itu sesederhana ketika kita dikatain sama pacar
sendiri.
Dan cemburu... Sesederhana melihat dia jalan sama orang
lain.
Tapi mematahkan gengsi, sesederhana "aku minta maaf,
aku sudah ingkar janji".
Dan memaafkan sesederhana kata "Iya".
Gue rasa, udah cukup dari segi storynya. Karena sejauh ini,
cerita dalam filmnya memang persis sama dengan cerita dalam bukunya. Dan gue suka bukunya. Meski
untuk beberapa part, ada hal-hal yang ngga sesuai sama apa yang kuingat. Atau
setidaknya, aku mengingatnya tidak begitu. Tapi mungkin, karena perkara durasi, maka film
ini harus di cut sana sini agar lebih padat. Tapi setidaknya, Fajar Bustomi dan
Pidi Baiq berhasil membuat film ini sama rasanya dengan Dilan 1990.
Sekarang mari bahas film ini dari segi sinematografinya.
Ada hal-hal yang membuatku merasa asing dengan Bandung di
tahun 1990. Meski agak sok bagiku menilai Bandung di tahun segitu, padahal
menjadi anak Bandung (CORET) saja bisa dihitung 1 tangan.
Aku baru tau suasana di Bandung bisa se modern itu. Bandung
disulap menjadi seperti Jakarta. Dengan gaya yang lebih maju, dan stylish. No offense, bukan maksudnya tahun 1990 tidak boleh gaya, tapi sepertinya beda aja gitu trend saat itu. Tapi bolehlah, bisa mengosongkan jalanan di Braga dan ITB sebegitu lempengnya, padahal sekarang Bandung teh sudah macetos banget. Super duper luar biasa juga karena bisa mengundang RK untuk hadir jadi cameo di film tersebut. *Keprok keprok*
Yhaa, intinya ceritanya sukses membuat gue cengengesan sendiri. Tapi memang gue kecewa akan ekspektasi gue sendiri.
Harusnya, film ini bisa jauh lebih bagus lagi... :)
#OneFilmADay(OrMore)
