Sabtu, 10 Februari 2018

Dilanku 1990

Memutuskan menonton karena termakan rasa penasaran. 
Kemudian memutuskan kecewa, karena termakan ekspektasi.

Tadaa~


Semua orang punya Dilannya masing2. Punya bayangannya akan Dilannya sendiri.

Bagiku, Dilanku adalah sesosok anak SMA, menggunakan seragam biru, yang tak rapi dimasukkan celana dengan warna senada. Dilan yang cungkring dan jangkung. Dilan dengan senyum setengah tiangnya. Senyum tengil contempt dengan rasa yang bikin gregetan. Yang lebih sering nyengir ketimbang senyum manis.
Dilanku adalah dia yang cuek, tapi baik sama semua orang. Dilan yang bandel, tapi tetap respect sama guru-gurunya. Dilan yang bukan idola sekolahnya, tapi tetap punya pengagum rahasia. Yah, semua orang punya Dilannya masing2. Punya bayangan akan bagaimana sosok Dilan dalam "hidup" mereka. Yang jelas, Dilanku sudah pergi entah kemana. Terakhir hanya sempat kulihat punggungnya di balik pagar rumah, tanpa sempat mengucap selamat tinggal. Dan tak pernah bertemu sejak 7 tahun lamanya. Dilan 2011.

---

Setiap orang juga punya rasanya masing2 setelah menonton film ini. Aftertastenya berbeda buat tiap pribadi, tergantung memori apa yang paling kuat ditarik kembali oleh penggalan pengalaman sederhana dalam film ini.
Aftertaste ku sedih. Entah kenapa, entah apa. Lagi2, seperti merasa depresi setelah merasakan manic. Tapi bukan karena filmnya sendiri. Karena memori yang terpanggil mungkin memori yang menyedihkan, memori yang sudah kadaluarsa dan tak bisa diulang.

---

Film ini menyenangkan memang. Menyadarkan bahwa pada tahun 1990, muda mudi bisa senang hanya karena disapa selamat pagi oleh orang yang belum dikenal. Muda mudi bisa cengengesan sendiri karena dapat TTS yang sudah terisi. Dan muda mudi bisa berbunga2 karena dapat telpon (hampir) tiap malam. Yang jelas sih ngga ada adegan rebutan "kamu duluan yang tutup telponnya".

Mungkin bagi para generasi X, mereka akan merasakan nostalgia saat menonton film ini. Bersyukur karena mereka masih familiar dengan cara pedekate yang sesederhana itu. Bersyukur karena saat itu, ngga semua cewe harus didekati bermodal mobil mentereng dan barang2 branded.

Mungkin bagi para millenials, mereka senyum2 hebring sendiri karena gemes sama cowo tengil kayak Dilan, yang jarang ditemui pada masa2 seperti ini. Lalu, mungkin habis ini, akan tiba masanya, kepuasan hubungan mereka menurun, dan mereka menuntut pasangan masing2 untuk jadi seromantis Dilan.

---

Oke, mari kita mulai review filmnya. Yang di atas tadi baru pemanasan 😜

Filmnya buatku mengajarkan bahwa kita bisa bilang sesuatu dengan jujur tanpa embel2 malu, negative thinking, atau modus, atau baper, atau apalah-itu-yang-sebenarnya-normal-tapi-jadi-aneh-karena-capnya-netizen.

Senang itu sesederhana dapat telpon dari dia.
Khawatir itu sesederhana gabisa nemuin dia pada saat jam istirahat.
Marah itu sesederhana ketika kita dikatain sama pacar sendiri.
Dan cemburu... Sesederhana melihat dia jalan sama orang lain.
Tapi mematahkan gengsi, sesederhana "aku minta maaf, aku sudah ingkar janji".
Dan memaafkan sesederhana kata "Iya".


Gue rasa, udah cukup dari segi storynya. Karena sejauh ini, cerita dalam filmnya memang persis sama dengan cerita dalam bukunya. Dan gue suka bukunya. Meski untuk beberapa part, ada hal-hal yang ngga sesuai sama apa yang kuingat. Atau setidaknya, aku mengingatnya tidak begitu. Tapi mungkin, karena perkara durasi, maka film ini harus di cut sana sini agar lebih padat. Tapi setidaknya, Fajar Bustomi dan Pidi Baiq berhasil membuat film ini sama rasanya dengan Dilan 1990.

Sekarang mari bahas film ini dari segi sinematografinya.

Ada hal-hal yang membuatku merasa asing dengan Bandung di tahun 1990. Meski agak sok bagiku menilai Bandung di tahun segitu, padahal menjadi anak Bandung (CORET) saja bisa dihitung 1 tangan.

Aku baru tau suasana di Bandung bisa se modern itu. Bandung disulap menjadi seperti Jakarta. Dengan gaya yang lebih maju, dan stylish. No offense, bukan maksudnya tahun 1990 tidak boleh gaya, tapi sepertinya beda aja gitu trend saat itu. Tapi bolehlah, bisa mengosongkan jalanan di Braga dan ITB sebegitu lempengnya, padahal sekarang Bandung teh sudah macetos banget. Super duper luar biasa juga karena bisa mengundang RK untuk hadir jadi cameo di film tersebut. *Keprok keprok*


Dari segi cast, menurutku terlepas dari acting mereka, Dilan dan Milea memang sudah memiliki chemistry yang cukup oke. Mereka bisa memainkan sepasang muda-mudi kasmaran yang tidak kurang dan tidak lebih. Mereka bisa membagikan keceriaan dan rasa bahagia ke penonton. Namun, emosi marah, sedih dan kaget adalah emosi-emosi yang sangat susah untuk ditampilkan. Sehingga kadang, rasanya ngawang dan jadi ngga nyampe ke gue. Jadinya ada yang patah dari cerita itu. 

Yhaa, intinya ceritanya sukses membuat gue cengengesan sendiri. Tapi memang gue kecewa akan ekspektasi gue sendiri.

Harusnya, film ini bisa jauh lebih bagus lagi... :)


                                                                                              #OneFilmADay(OrMore)